Bersyukurkah Kita?

Terkadang kita lupa, terhadap beberapa nikmat yang seolah-olah kita layak mendapatkannya tanpa usaha, sebab Allah memberikannya dengan mudah. Padahal di luar sana, banyak manusia terseok mencari nikmat-nikmat itu.

Mari berdiri di antara kerlap-kerlip kota, perhatikan mereka, beberapa anak kecil tertawa di bawah lampu lalu lintas, menjajakan koran dengn wajah kucel dan kusam. Tahukah kita berapa usia anak-anak itu? 5 sampai 12 tahun. Menolehlah sejenak ke arah samping ketika sedang melajukan kendaraan pada malam hari. Lihatlah mereka, tidur beralaskan tanah beratapkan langit. Dengan sandaran rolling door toko yang telah tertutup. Wajah-wajah mereka adalah wajah-wajah lelah yang telah seharian mencari nafkah. Bagi mereka, tidak ada rumah dari bata ataupun kayu. Bumi inilah rumah mereka, lantainya tanah, atapnya langit, hiasannya adalah terik matahari dan lebatnya hujan.
Atau terbangkan bayangan kita menuju Palestina, tanah para nabi. Tempat berdirinya Masjid suci bernama Al Aqsha yang kini tertawan. Tanyakan pada anak-anak di sana, bagaimana cara mereka hidup di antara dentuman roket, tank, dan ranjau. Bagaimana cara mereka tersenyum, padahal tanah mereka diisolasi dan diembargo habis-habisan. Tanyakan kepada mereka tentang cita-cita, kita akan temukan jawaban meluluhkan hati, "Aku ingin shalat di Masjidil Aqsha."

Ke timur Indonesia. Pemandangan alam yang hijau lebat, air laut yang bening biru, ternyata menyimpan sebuh potret penyimpangan UUD 1945. "Orang miskin dipelihara dan dirawat oleh negara." begitu tulisannya, namun berbeda faktanya. Anak-anak dengan perut buncit dan tulang berlapiskan kulit ada di sana, meninggal dunia karena busung lapar. "Sumber air sudekat", begitulah lelucon yang sering kita gambarkan tentang mereka.

Terkadang kita lupa, terhadap beberapa nikmat yang seolah-olah kita layak mendapatkannya tanpa usaha. Terlalu sibuk mengeluh, sampai lupa untuk berucap syukur. Padahal sungguh, segala nikmat itu tidak pernah bisa dibalas hanya dengan berucap, "Alhamdulillah" semata.

Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita bersama. Beruntung Allah memilihkan kita memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi orang dengan tangan diatas. Sudah saatnya untuk berhenti menggerutu terhadap nasib yang padahal jika dibandingkan dengan yang lain kita masih berada jauh diatas.

Sebab Rasulullah bersabda,"Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama.." maka sibukan diri dengan menebar manfaat kepada siapa saja, siapa tahu itu yang mampu menjadi jawaban bila kelak kita ditanyai dan diminta pertanggung jawaban di kemudian hari.
"Fabi-Ayyi Ala-I Rabbikuma Tukazziban.."
Sungguh, begitulah untaian pertanyaan indah, firman Allah kepada jiwa-jiwa pengeluh seperti diri ini.

Penulis : Afan Ramdhani

Sedikit Lebih Dalam: Qur'an Inspirasi Ilmu Pengetahuan


Sudah menjadi suatu tugas bagi manusia, mengevaluasi diri pasca Ramadhan usai. Sejauh manakah iman dan amal kita bertambah, sehingga makna “Syawal” benar-benar teraplikasi secara harfiah dan maknawiyah. Allah SWT telah mengisyaratkan banyak perintah dalam Al-Qur’an agar manusia melakukan evaluasi. Afalaa tatafakkaruun...atau Afalaa ta’qiluun. “Apakah kamu tidak memikirkan?” Pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut seringkali disandingkan dengan perintah untuk memperhatikan alam semesta beserta segala fenomena didalamnya.

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (clue) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q.S. Adz-Dzaariyaat (51) : 20-21) 

Ada sesuatu yang menarik dari kegiatan tafakkur ini. Sebagaimana kita tahu, seluruh mahluk yang diciptakan-Nya selalu bertasbih dengan cara-cara yang unik. Mereka telah bertauhid dengan cara mereka sendiri. Dengan interaksi kita dengan para mahluk Allah ini, semestinya ada “getaran-getaran dzikir” yang kita rasakan. Layaknya saat kita berinteraksi dengan orang yang sedang berdzikir, sedang mengingat Allah, kita akan rasakan bahwa ia sedang mengingat Tuhanya. Sesuatu yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati, begitu rumusnya. Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bahkan “menemukan” prinsip ketauhidan dari tafakkur. Terlepas dari keistimewaan hati dan iman beliau, tafakkur ini juga bisa kita lakukan untuk menggapai kesadaran bertauhid. 

Pertanyaanya, tafakkur yang bagaimana ? 

Mencari contoh yang terbaik, tentu contoh yang diberikan Allah SWT. Maka apa yang dilakukan para Nabi dan Rasul, juga orang-orang terdekat mereka adalah referensi terbaik. Hal yang paling menonjol dari diri mereka ketika bertafakkur, tentunya kejernihan hati. Ibrahim kecil dibesarkan di gua terpencil. Ia punya curiousity dan criticism yang tinggi. Namun sifat dan akhlaq mulia tetap terpancar dari perkataanya. Nabi Ibrahim menuntun pemikiran-pemikiranya dengan akal sehat, objektif. 

"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam"

"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'" 

"Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'"
(QS. al-An'am: 76-79) 

Begitu pula ketika ia menghadapi paganisme kaumnya dengan akal sehat : 

"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, nescaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu derhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahawa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.'" (QS. Maryam: 42-45) 

Dalam bahasanya Pak Agus Mustofa, penulis buku serial Diskusi Tasawuf Modern, menyebutkan Al-Qur’an sebagai Inspirasi bagi Sains. Beliau menyebutkan bahwa Al-Qur’an memang bukan kitab sains. “Al-Qur’an memang bukan sains dan tidak layak ditandingkan denganya. Ayat-ayat Qur’an berada di ‘hulu” sedangkan sains berada di ‘hilir’”, sebutnya. Namun Allah memberikan banyak clue (petunjuk)–sebagaimana sebutan Al-Qur’an sebagai Huda–mengenai berbagai hal di alam semesta. Banyak inspirasi, maupun filosofi yang dapat digali dari ayat-ayat Qur’an. Ini berlaku untuk semua disiplin ilmu, mulai dari Astronomi, Fisika, Geologi, Kimia, Matematika, bahkan Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Politik, dan sebagainya. Ilmuwan, dalam hal ini menjadi subjek-subjek pengembang sains. Al-Qur’an menstimulasi perkembangan ilmudan membimbingnya agar tetap on the right track. Maka semestinya, pengkajian yang mendalam terhadap suatu ilmu mengantarkan ‘si pengkaji’ menuju hujjah-hujjah ketauhidan yang akan lebih menancap di hatinya. Kuncinya–seperti yang dicontohkan para Nabi dan Rasul–adalah niat hati kita. Kita niatkan untuk beribadah, mencari hikmah, mencari inspirasi ketauhidan. 

Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya (Al-Hadits) 

“Dan apabila diturunkan suatu surat (Al-Qur’an), maka di antara mereka (yang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah keimananya dengan (turunya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah keimananya, dan mereka merasa gembira. Sedangkan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah keingkaran mereka, disamping keingkaraya (yang telah ada), dan mereka mati dalam keadaan ingkar”(Q.S At-Taubah (9) : 124-125) 

Dalam hal penciptaan bumi misalnya, Allah menyebutkan asap panas yang kemudian mendingin membentuk tata surya, planet-planet, juga benda-benda langit lainya. Bumi termasuk didalamnya. Hal-hal mengenai proses perubahan asap panas dalam tinjauan sains, ternyata dapat dideskripsikan lebih detail dengan metodologi-metodologi saintifik, pengkajian mendalam, penelitian, dan aplikasi teori-teori dari para ilmuwan terdahulu. Dalam titik tersebut, ayat Qur’an tidak hanya dogma, melainkan sudah menjadi keyakinan dengan bukti kauniyah yang nyata. Sebagai referensi yang konkret, tengoklah Prof. Abdus Salam. Bahkan beliau menyitir ayat-ayat Qur’an yang menginspirasinya dalam karyanya, ketika memberikan pidato perolehan Nobel. Selengkapnya dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Abdus_Salam

Sebagai penutup tulisan kali ini, kami mengajak rekan-rekan (terutama) mahasiswa untuk sedikit lebih dalam mempelajari ilmu. Sekalipun itu ilmu yang belum pernah menemukan “kecocokan” dengan ayat Qur’an secara empiris, namun kajian yang sedikit lebih dalam akan membuka pintu-pintu hikmah. Tentunya dengan terus meluruskan niat, dipandu ayat Qur’an sebagai sumber filosofisnya. 
Let’s do tafakkur, then tadzakkur

Mengapa mahasiswa? 

Karena ianya sangat dekat dengan lingkungan ilmiah. Fasilitasnya lebih mendukung untuk kajian-kajian saintifik. Tugasnyalah melakukan pencerdasan masyarakat dengan kapasitas ilmu yang selalu ditingkatkanya. Hanya saja perlu ada kemauan, untuk mengkaji sedikit lebih dalam… Ya, sedikit saja. Namun ruti.

Keep Inside Iman! 

Penulis   : Tubagus Naufal Dzaki

Rasakan Seakan Masih Ramadhan: Ramadhan Selamanya

Ramadhan telah berlalu dan saat ini kita telah memasuki bulan Syawal. Hanya diri kita sendiri yang mengetahui kualitas amalan-amalan kita selama bulan Ramadhan yang lalu. Berapa banyak Ramadhan yang sudah kita lewati tapi kita merasa semuanya biasa saja, tidak ada yang istimewa. Yang tertinggal dalam ingatan hanya menahan rasa haus dan lapar. Target ibadah Ramadhan pun mungkin masih banyak yang belum dituntaskan. Tidak ada rasa rindu ingin berjumpa kembali dengan Ramadhan tahun depan. Kalau kita mencoba flashback ke belakang, maka kita akan menjumpai kelalaian-kelalaian dalam menyambut bulan Ramadhan. Salafush shalih mengatakan,“Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban bulan menyiram. Ramadhan adalah saat pohon berbuah. Bila engkau ingin memetik buah di bulan Ramadhan. Kau harus menanamnya di bulan Rajab dan menyirami tanaman itu di bulan Sya’ban.” Para salafush shalih dahulu, enam bulan berturut-turut menjelang Ramadhan, memohon kepada Allah agar dipertemukan dengan Ramadhan dan selama enam bulan setelah Ramadhan kembali memohon kepada Allah untuk menerima amalan-amalan yang telah dilakukan selama Ramadhan. Mereka merindukan saat-saat berpuasa di waktu siangnya, bermunajat di waktu malamnya dan tilawah di tiap harinya. Rabbana taqabbal minnaa.

Alkisah seorang budak wanita yang dipunyai lelaki shalih dijual kepada sebuah keluarga. Menjelang Ramadhan keluarga baru menyiapkan berbagai macam makanan. Ternyata makanan yang banyak itu untuk menyambut bulan Ramadhan. Saat itu juga, budak wanita yang beriman itu meminta untuk dipulangkan kembali kepada majikannya yang lama. Karena selama bersama dengan majikan lamanya, seakan seluruh tahun adalah Ramadhan. Ia tidak ingin memiliki majikan yang seakan-akan hanya berpuasa di bulan Ramadhan saja.

Ramadhan adalah bulannya ibadah. Bulan yang di dalamnya diperintahkan oleh Rasulullah untuk memperbanyak ibadah ketimbang bulan-bulan lainnya. Merasakan hari ini seakan masih Ramadhan berarti kembali menghidupkan amalan-amalan Ramadhan dengan diiringi kerinduan untuk berjumpa kembali di tahun depan. Kerinduan akan memotivasi kita untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya selama satu tahun ke depan. Berharap mendapatkan malam Lailatul Qadr yang selama ini selalu terlewatkan. Berharap tidak ada lagi penyesalan. Yang ada hanya rasa syukur atas kesempatan yang masih diberikan dan kebahagiaan atas nikmatnya ibadah yang kita rasakan.
Ramadhan adalah momentum reformasi diri. Ada usaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dengan berusaha meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan mulai membiasakan diri dengan amalan-amalan yang baik. Kita mulai dengan melaksanakan puasa Syawal agar mendapatkan ganjaran selama puasa satu tahun penuh.
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Ramadhan juga bulan kemenangan dan pertolongan. Ada banyak peristiwa heroik yang terjadi selama bulan Ramadhan. Menjadi penyemangat kita dalam memperjuangkan kebaikan di jalan kebenaran. Sebut saja perang Badar, Fathul Mekkah, penguasaan kota ‘Asqalan oleh Shalahuddin Al Ayyubi, dan yang saat ini sama-sama kita saksikan; kemenangan-kemenangan kecil yang terjadi di Palestina atas penjajahan Israel. Israel tidak akan menang melawan Palestina! Karena para mujahid Palestina adalah mereka yang tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. (QS.3:146-148)

            Dengan menghidupkan Ramadhan di setiap harinya dan mengenang kehadirannya serta menghadirkan kerinduannya, maka rasakan Ramadhan selamanya.

Kami dan Perjuangan Kam(m)i

Kami terheran-heran dengan mereka yang terangguk-angguk seakan paham
Dengan mereka yang pergi untuk sesuatu yang sebenarnya tidak esensi
Ada juga yang meleburkan diri hingga tanpa sadar semuanya karena kesenangan pribadi
Tak tahu lagi sebenarnya apa yang sedang dicari. Untuk apa semua ini?

Kami memilih menjadi mereka yang meleburkan diri secara sadar dan akan terus sadar
Melewati semua ujian, menang dengan segala usaha yang dihalalkan
Senantiasa  hanya berharap bonus pahala dan janji-janji surga
Niat mungkin akan berbelok di tengah perjalanan
Saat itu, kami berharap Tuhan akan membimbing kami hingga kembali pada niatan awal
Mungkin saat itu juga sahabat-sahabat kami telah gugur satu-satu
Kembali kami akan berharap kepada Tuhan, bimbing sahabat-sahabat kami sebagaimana Kau bimbing kami

Seringkali kami bertanya,
Kenapa ada yang tidak kritis menangkap maksud baik?
Menelan mentah-mentah apa kata orang
Seperti ampas yang lolos dari saringan
Kenapa juga ada yang tak kunjung beranjak dari rasa nyaman yang mematikan?
Ingin hidup namun enggan bernafas
Ingin menghirup udara segar tapi memilih tetap bertahan di tempat yang menyesakkan
Kalau kami dihadirkan untuk menciptakan perubahan,
Kenapa mereka tak kunjung paham?
Atau kami dihadirkan hanya untuk sekedar menambah semaraknya warna
Sehingga semuanya hanya akan menguap di udara,
Tidak akan mengubah apa-apa
Tidak! Bukan untuk itu Kau hadirkan kami kan?

Ini semua benar-benar melelahkan
Bukan lelah fisik yang membuat sakit badan
Tapi lelah jiwa yang membuat semuanya terasa sia-sia
Kesadaranku timbul tenggelam, namun aku masih bisa mendengar seruan, “Bertahanlah, kawan! Kau akan menang!”
Dalam ketidaktahuanku, aku kembali bertanya,

Semua ini akan Kau balas kan?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money