PDIP, saatnya kembali ke Pancasila 1 Juni 1945!



Secara historis PDI Perjuangan merupakan partai yang mengambil ide-ide perjuanganya dari pemikiran-pemikiran Bung Karno yang dituangkan dalam pidato  lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 dan trisakti. Oleh karenanya dalam mewujudkan cita-cita proklamasi, salah satu strategi yang dimiliki PDIP adalah dengan  menjamin sebanyak-banyaknya rakyat terlibat dalam kegiatan ekonomi produktif, mendorong akses masyarakat terhadap permodalan, informasi dan pasar sesuai, strategi ini sesuai dengan pemikiran Bung Karno. Dan karena strategi ini pula yang membuat PDIP berani menyematkan julukan “Partai Wong Cilik”, karena komitmennya untuk melindungi rakyat kecil.
Setelah terkekang selama orde baru, di era reformasi PDIP menjelma menjadi partai pemenang dalam kancah perpolitikan Indonesia. Pemilu pertama tahun 1999 berhasil dimenangkan oleh PDIP dan menghantarkan ketua umum partai ini, Megawati Soekarno Putri naik ke kursi Presiden. Walaupun sempat mengalami penurunan jumlah suara di tahun 2004 dan 2009, kini PDIP kembali berhasil merebut hati rakyat Indonesia di pemilu 2014. Tentu saja bersama kemenangan tersebut, terselip harapan dari jutaan rakyat Indonesia kepada Partai ini agar dapat membawa bangsa ini kepada cita-cita kemerdekaannya lewat ideologi partai yang PDIP tawarkan. Kemenangan PDIP di pemilu lalu memang menjadi harapan bagi banyak orang. Figur Jokowi yang berbeda dengan politikus kebanyakan dan sangat sesuai dengan image partai sebagai partai  wong cilik, menjadikan partai ini mendapat kepercayaan dari rakyat untuk periode 5 tahun ke depan. Tentu kita menanti-nantikan terobosan apa yang akan dilakukan PDIP setelah berada di kursi pemerintahan. Rakyat kecil terutama menjadi pihak yang banyak berharap, karena golongan inilah yang banyak mendapatkan janji politik selama kampanye. Namun apakah kinerja partai tersebut telah sesuai dengan apa yang diharapkan?
Memang masih terlalu cepat menilai kinerja PDIP di pemerintahan, karena belum genap 2 tahun sejak kemenangannya. Namun saya kira untuk sekedar mengingatkan agar partai ini kembali pada relnya tentu bukan hal yang salah, justru ini waktu yang tepat sebelum kereta tersebut sudah terlalu jauh keluar jalurnya sehingga sulit bagi sang masinis untuk mengembalikannya.
Dalam keberjalanannya, saya melihat ada beberapa kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi (yang merupakan petugas partai) saat ini yang kontraproduktif terhadap ideologi PDIP. Sebut saja dalam bidang ekonomi. Pemerintah Jokowi gencar sekali mendorong penanaman modal asing ke dalam negeri dan juga penambahan utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini bertentangan dengan strategi partai yang seharusnya mengutamakan masyarakat (asli Indonesia) agar memiliki akses terhadap permodalan. Memang akan terjadi percepatan ekonomi, namun sayangnya bukan sekedar percepatan ekonomi saja yang ditawarkan partai ini. Kapital dalam negeri merupakan prioritas yang seharusnya didorong bukan sebaliknya. Dengan adanya kebijakan penggenjotan investor luar negeri akan berdampak buruk pada pengusaha dalam negeri. Karena tanpa perencanaan yang matang, penanaman modal asing hanya akan membuat pengusaha dalam negeri dengan modal yang kecil tentu akan kalah bersaing. Hal ini tidak masalah jika PDIP merupakan partai dengan ideologi demokrasi liberal, namun “sayangnya” dalam AD ART partai sudah sangat jelas dikatakan partai ini adalah partai berideologi demokrasi Pancasila, artinya ada nilai-nilai Pancasila yang membatasi.  Dalam hal modal, artinya penanaman modal bukan semata-mata untuk menghasilkan rupiah buat si penanam modal, tetapi lebih kepada terciptanya keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aset Bangsa, Untuk Bangsa
Berbicara soal aset bangsa, tentu kita semua setuju bahwa seharusnya aset-aset tersebut dinasionaliasi. 350 tahun Belanda menjajah bangsa ini, maka selama itu pula ekonomi kita bocor, karena seluruh sumber daya alam Indonesia, gula kita, karet kita, kapas kita dan batu baranya hanya digunakan untuk mengamankan ekonomi negeri di laut utara itu. Walaupun di akhir-akhir masa imperealisme, Belanda banyak melakukan industrialisasi di Jawa dan Sumatra, tetap saja modalnya merupakan modal asing, dan keuntungannya untuk asing. Tidak banyak pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia (Hindia Belanda ketika itu). Maka di zaman awal kemerdekaan, Presiden Soekarno getol menasionaliasi banyak aset asing di negeri ini agar dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum akhirnya langkahnya pun dijegal oleh antek asing yang tidak rido sumber pendapatannya diambil. Naiknya PDIP (partai yang mengusung pemikiran Soekarno) ke dalam tampuk kekuasaan tentu meberikan harapan pada rakyat agar PDIP bisa meneruskan langkah Presiden Soekarno yang tertunda itu. Namun kenyataan  di lapangan adalah banyak aset bangsa yang dijual ke asing. UU larangan ekspor mineral mentah yang dibuat di zaman SBY yang cukup menyulitkan salah satu tambang emas terbesar di dunia di ujung timur negeri ini, di era Jokowi malah diberi perpanjangan agar perusahaan itu tetap bisa ekspor mineral mentah lebih lama. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi kita, sebenarnya strategi apa yang sedang dijalankan PDIP?

Utang Luar Negeri
Di era pemerintahan Jokowi, kebijakan utang luar negeri juga menjadi sorotan.  Terutama dalam kasus utang terhadap China. Hanya dalam kurun waktu satu tahun ketika Presiden Jokowi menjabat, utang luar negeri Indonesia ke China mengalami peningkatan sebesar 59,61 persen. Sementara utang luar negeri ke kreditor lain seperti Jepang, Singapura, AS dan Belanda mengalami penurunan di waktu yang bersamaan. Sebenarnya sudah banyak sekali ahli yang mengkritik kebijakan ini, selain karena banyaknya persayaratan aneh seperti keharusan menggunakan buruh kasar dari China (yang juga bertentangan dengan Undang-Undang), di sisi lain utang dari China memiliki bunga yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman dari Jepang atau negara lainnya. Pemerintah memiliki alasan, karena saat ini hanya China yang mampu memberikan pinjaman sebesar itu. Sebuah alasan yang menurut saya tetap tidak bisa diterima. Seharusnya sikap China yang berani memberikan pinjaman besar ke banyak negara berkembang di Asia maupun Afrika menjadikan kita bertanya ada agenda apa dibalik itu.
Sebuah studi gabungan oleh Rhodium Group dan MERICS menyatakan investasi China kini menjadi agenda utama dalam berbagai pertemuan diplomatik negara itu. Ini dikarenakan China perlu menanggulangi dampak negatif karena anjloknya permintaan barang dari luar China dan meningkatnya surplus barang-barang produksi China. China yang kini menjelma menjadi raksasa industri dunia mulai menemui tembok penghalangnya yang ia buat sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang terlampau cepat membuat negara ini kelimpungan sendiri. Kini barang-barang hasil produksi China banyak menumpuk di gudang, karena produksinya yang terlampau tinggi sementara ia tidak punya daerah pemasaran yang cukup. Ekonomi dunia yang melemah membuat permasalahan ini menjadi bertambah-tambah. Hal inilah yang membuat China perlu untuk “membantu” negara-negara berkembang dengan pinjaman luar negerinya agar negara-negara tersebut bisa membangun negeranya menjadi pasar produk-produk China. Salah satunya adalah Indonesia. Sekali lagi kebijakan ini berseberangan dengan ideologi PDIP. Dalam tri sakti yang disampaikan Bung Karno sudah sangat jelas bangsa ini harus berdikari secara ekonomi. Bukan memberikan jalan pada bangsa lain menjadikan bangsa ini menjadi tidak lebih dari sebuah pasar.

Politik Ibu Kota
Yang terbaru yang juga membuat saya heran adalah sikap partai ini dalam Pilkada DKI yang mendukung calon petahana yakni Ahok. Padahal sudah sangat gamblang cara Ahok dalam memerintah tidak sesuai dengan identitas PDIP sebagai partainya wong cilik. Ahok dalam pendekatannya sangat tegas terhadap siapapun, dan kurang dalam hal pendekatan kekeluargaan. Yang sangat kentara adalah kebijakannya dalam menggusur permukiman penduduk menengah ke bawah yang tidak sesuai dengan peraturan. Di sisi lain Ahok dinilai lebih membela para pengusaha, seperti pada kasus reklamasi ia ngotot membela pihak pengembang untuk melanjutkan proyek yang dihentikan oleh 3 menteri. Gaya kepemimpinan Ahok yang lebih dekat kepada kelompok Kapitalis tentu tak cocok jika disandingkan dengan PDIP yang justru menentang Kapitalisme itu sendiri. Perlu ditekankan bahwa saya tidak menyalahkan cara Ahok dalam memimpin karena itu juga salah satu ijtihad politik bagi Ahok, karena toh dengan cara seperti itu Singapura juga bisa maju (walaupun bukan kemajuan seperti itu yang kita harapkan bagi Indonesia). Tetapi beda halnya ketika PDIP yang sudah menisbatkan dirinya sebagai partai wong cilik, punya banyak kader yang potensial tetapi berujung dengan dukungan terhadap ahok. Ini seperti membuang ideologi yang selama ini dijunjung oleh PDIP.

JAS MERAH
Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat "Jasmerah" adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Tentu sebagai sebuah bangsa yang ingin maju kita juga tidak bisa melepaskan sejarah. Baik sejarah nasional, regional maupun global agar langkah kita ke depan mantap dan tidak terjatuh ke dalam lubang yang sama.
Salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, Tan Malaka pernah mengatakan bahwa ada beberapa jenis imperialisme di dunia ini. Di antaranya adalah imperialisme biadab, imperialisme autokratis, imperialisme setengah liberal dan imperialisme liberal. Dua yang disebutkan di awal telah kita alami pada masa penjajahan Belanda. Sementara imperialisme setengah liberal dan liberal dilakukan oleh Inggris di daerah-daerah jajahannya dan juga Amerika di Filipina. Perbedaan jenis imperialisme ini bukan bergantung pada keadaan bangsa yang dijajah melainkan bergantung pada keadaan penjajahnya. Ketika Belanda menjajah Indonesia, negeri itu bukanlah negeri industri melainkan hanya negeri petani dan para saudagar. Karenanya aktivitas perekonomiannya lebih banyak di jasa dan perdagangan. Karena itu lah pola imperialisme Belanda di Indonesia cenderung autokratis, ia hanya menyedot sebesar-besar kekayaan alam Indonesia untuk dihamburkan di negerinya tanpa perlu menciptakan basis perekonomian Indonesia sedikitpun.
Berbeda halnya dengan Inggris yang telah mengalami revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell. Kapitalisme Inggris telah mantap, dan ia telah bermetamorfosis menjadi negara industri. Sebagai negeri industri yang memiliki surplus produksi yang besar Inggris membutuhkan pasar-pasar. Oleh karena itu Inggris terpaksa membangun daerah koloninya, agar siap menjadi pasar bagi produk-produknya. Ia membangun sekolah-sekolah, firma, maskapai baik impor maupun ekspor dalam perdagangan. Maka itu kita kadang berceloteh “kok negara yang dijajah Inggris maju ya?” mungkin ini lah yang menjadi jawabannya.
Setelah membangun infrastruktur daerah koloninya, permasalahan selanjutnya yang dihadapi Inggris adalah perlu adanya orang-orang terdidik yakni para saudagar di wilayah koloninya yang nantinya bisa mengendalikan ekonomi wilayah tersebut dan menjadi perantara agar produk-produk Inggris dapat masuk dengan lancar. Maka dibangunlah sekolah-sekolah tinggi di seantero daerah koloni Inggris untuk menyiapkan kelompok orang-orang tersebut.
Jika dibandingkan dengan kondisi Indonesia China saat ini, maka kita akan mendapati kondisi yang mirip. Walaupun tidak dalam semua hal. Namun tetap menjadikan kita perlu waspada. Dan ini pula yang menjadikan alarm untuk PDIP agar tidak jauh keluar relnya. Semoga kebijakan-kebijakan PDIP dan khususnya pemerintahan Presiden Jokowi saat ini bukanlah untuk menjadikan Indonesia sebagai  pasar baru bagi China. Semoga pula kebijakan mendukung Ahok yang cenderung dekat kepada kelompok kapitalis bukan dalam rangka menyiapkan kelompok perantara China-Indonesia agar memuluskan proyek pasarisasi Indonesia. 
Akhir kata, Merdeka!


Muhammad Iqna Syarhuddin
Ketua PK
KAMMI Teknik Undip 2015

Nasibmu' sebagai muslim saat ini

Nasibmu' sebagai muslim saat ini


Kompleks. Kompleks banget. Bahwa eropa adalah negeri impian karena pada fitrahnya manusia menyukai keindahan dan kebersihan ditambah dengan sistem sosial, kesehatan, pendidikan yang baik maka wajar banyak dari mereka (re: pengungsi) berharap akan kehidupan yang lebih baik dan layak di eropa.
Tapi apakah dengan tinggal di eropa menjadi ending yang bahagia untuk mereka?
Sayangnya ada beberapa manusia yang digolongkan sebagai oportunis sejati. Tidak segan mereka memanfaatkan situasi serba susah saat ini dengan berpura-pura menjadi pengungsi hanya untuk mendapatkan uang dan bantuan.
Lebih jauh, bahkan mereka tega mengkambinghitamkan para pengungsi (yang sungguh-sungguh merupakan korban perang) dengan melakukan tindakan brutal (pemerkosaan, pemalakan, perampokan, pencurian) kepada warga lokal dimana akhirnya membuat warga lokal menjadi sensitif terhadap isu 'pengungsi' ini.
Difitnah, ancaman deportasi, adanya perdagangan manusia, sulitnya mendapatkan pekerjaan, respon warga lokal yang tidak baik...
Kurang apa coba penderitaan mereka?
Di tengah perjuangan muslim sebagai minoritas disana untuk memperbaiki wajah Islam, kok masih ada sekumpulan manusia yang bisa-bisanya 'sengaja' melakukan tindakan terorisme dengan jihad sebagai dalihnya dan dengan bangga mengaku bertanggung jawab atas terjadinya ledakan bom di Brussels kemarin.
Guess why?
Eropa akhir-akhir ini memang sangat digempur sekali dengan isu terorisme, pengungsi, dan Islam dengan propaganda media sebagai senjata utamanya. Bagi mereka Islam itu identik dengan teroris. Bagi mereka pengungsi itu sumber masalah. Titik. Dan pengungsi-pengungsi itu kebanyakan beragama Islam kan? Jadi Islam itu sudah teroris pun sumber masalah juga. Komplit.
Salahkah mereka menyudutkan Islam seperti itu? Tidak juga. Terlepas mungkin memang terdapat beberapa kejadian negatif dengan Muslim sebagai dalangnya toh media juga tidak berimbang dalam menyampaikan kebenaran yang ada. Yang terjadi sekarang adalah double standard yang dilakukan banyak media massa. Simpati dan empati aja pilih-pilih. Dikira nyawa manusia itu makanan..
Kita tidak pernah tahu siapa pelaku pasti di balik semua ini (you know teori konspirasi ini itu) tapi kita tahu persis siapa korban dari semua peristiwa ini. Innocent people, pitiful refugee, and of course, muslim, muslim, and muslim. And yes for everything bad happens it is muslim who will always be blamed.
Dan apa yang paling menohok? Ketika korban yang disebutkan di atas justru yang paling merasa bersalah atas apa yang terjadi dan meminta maaf untuk suatu hal yang tidak mereka lakukan. And idiot people will never appreciate that.
Mungkin tidak ada kesimpulan dari tulisan di atas. Hanya ingin mengutarakan kekesalan dan makin merasa upil karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan ini...
Reference: statused by Raidah Athirah

-Arina Shafa-

Ironi LCS di Hari Nelayan Nasional

Belum lama ini kita dikagetkan dengan insiden penangkapan kapal nelayan China, KM Kway Fey dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut China Selatan. Jika dikaitkan dengan momen saat ini, yakni Hari Nelayan Nasional sebenarnya insiden ini cukup membuat kita gerah. Bagaimana tidak? di tengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan pentingnya menjaga SDA laut Indonesia untuk masa depan dengan disahkannya beberapa kepres yang melarang penggunaan pukat (trawl) di saat yang bersamaan pula nelayan China di wilayah Indonesia secara ilegal melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat.



Penggunaan pukat memang membawa dampak buruk bagi lingkungan maupun bagi nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas nelayan di Indonesia. Saat ini penangkapan menggunakan pukat banyak dilakukan oleh kapal-kapal asing yang bertonase besar. Dengan demikian hasil tangkapan mereka jauh lebih tinggi daripada hasil tangkapan nelayan tradisional. Hal ini tentu memberikan dampak buruk. Pertama jumlah ikan di lautan akan berkurang dan ini juga berdampak pada berkurangnya jumlah tangkapan ikan nelayan tradisional Indonesia. Selain itu penangkapan ikan menggunakan pukat dapat mengancam persediaan ikan di masa mendatang. Karena jaring yang digunakan pada metode ini memiliki lubang yang lebih kecil dibandingkan jaring yang digunakan nelayan tradisional. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi ikan-ikan kecil sekalipun untuk menjadi besar dan berkembang biak. Mungkin kita pernah menonton film animasi "Nemo" sang ikan badut, nah kira-kira seperti itulah bahayanya pukat (trawl), bedanya ini teradi di dunia nyata, dan di Indonesia.

Kembali lagi ke kasus insiden di laut china selatan. Jakarta memang telah melayangkan protes ke Beijing. Namun tanggapan pemerintah China atas insiden ini tidak lebih dari tanggapan yang arogan. Mereka menganggap bahwa wilayah tersebut masih termasuk wilayah China. Klaim ini didukung dengan masuknya wilayah perairan ini ke dalam kawasan wilayah tradisional penangkapan ikan China. Padahal alasan tersebut tidak dapat diterima dalam hukum internasional. Mungkin karena China kini telah merasa kuat dengan kebangkitan ekonominya juga kekuatan militernya yang dari tahun-ketahun selalu mendapatkan kenaikan anggaran maka mereka berani melakukan tindakan arogan semacam itu. Dan tindakan semacam ini sebelumnya pun sudah dirasakan oleh negara-negara Asean lainnya seperti Vietnam, Filipina dan Malaysia.

Saatnya melawan!
Tindakan arogansi China sudah sepatutnya kita lawan. Jika di zaman pemerintahan SBY Indonesia memiliki jargon Zero Enemy, sudah selayaknya Pemerintah sekarang mengganti jargon itu. Mari buktikan bahwa visi Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan cuma retorika belaka yang dijajakan ketika pilpres saja. Tetapi visi itu harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan nyata. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalah dengan China ini.

Evaluasi ulang kerjasama ekonomi
Beberapa tahun belakangan China memang getol sekali menanamkan modal ke negara-negara berkembang. Perilaku China tersebut diduga bertujuan agar ekonomi di negara-negara berkembang semakin membaik, ketika ekonomi di negara berkembang baik maka otomatis negara-negara berkembang tersebut yang juga merupakan konsumen produk-produk China diharapkan dapat lebih “konsumtif” sehingga memberikan dampak positif juga ke perekonomian China. Sekilas skema ini terlihat menarik, seperti simbiosis mutualisme. Namun yang namanya pinjaman tentu punya syarat yang harus dipenuhi. Syarat ini lah yang kadang dijadikan “tali pengekang” bagi pemberi pinjaman ke negara peminjam. Dalam kasus Laut China Selatan ini, tentu apabila kita ingin memiliki kekuatan diplomasi yang baik maka “tali pengekang” ini harus kita tanggalkan. Seperti perkataan presiden Jokowi pada Perayaan Konferensi Asia Afrika tahun lalu di Bandung, beliau mengajak pemimpin-pemimpin negara lain untuk membentuk tatanan ekonomi dunia yang baru, yang menghilangkan dominasi negara atas warga negara lain. Semoga perkataan beliau bukan hanya hal simbolis seperti yang dituduhkan salah satu petinggi IMF terhadap Jokowi.

Perkuat Militer dan Industrinya
Ada ungkapan yang cukup masyhur di dunia kemiliteran, “Jika kita ingin kedamaian, maka kita harus siap berperang”. Sebuah ungkapan yang menurut saya tidak salah. Karena ketika kita memiliki postur pertahanan negara yang kuat maka akan memperkecil kemungkinan negara lain untuk mengusik Indonesia, yang berarti potensi konflik pun akan semakin kecil.

Saat ini Indonesia memiliki program Military Essential Force (MEF) II, sebuah program yang digagas Presiden SBY untuk mengembalikan kekuatan TNI pada kekuatan minimalnya. Itu artinya saat ini kekuatan TNI masih belum optimal. Jangankan maksimal, minimal saja belum. Untuk itu di MEF II pemerintah banyak mendatangkan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) baru mulai dari Main Battle Tank Leopard dari Jerman, Landing Platform Dock dan kapal selam dari korea selatan, panser dan pesawat sukhoi dari Rusia, f-16 (bekas) dari Amerika, rudal-rudal dari China dan banyak lagi.

Namun daya deterensi militer suatu negara tidak dapat diukur hanya dari jumlah alutsistanya saja. Tetapi juga dari penguasaan teknologi militernya. Karena bagi negara yang memiliki banyak alutsista namun tidak menguasai teknologinya akan mudah sekali disetir negara produsen. Seperti yang terjadi saat pergelaran pasukan TNI di Aceh untuk menumpas GAM. Amerika dan sekutunya sepakat memboikot Indonesia sehingga banyak alutsista Indonesia yang tidak bisa operasional karena ketiadaan sparepart, tentu kita tidak ingin hal itu terulang kembali. Untuk mengatasi hal itu undang-undang telah mengamanatkan adanya skema Transfer of Technology (TOT) dalam setiap pembelian alutsita ke luar negeri. Skema TOT adalah skema pembelian alutsista yang mensyaratkan adanya pemberian teknologi dari negara penjual ke Indonesia. Teknologi yang sudah didapatkan akan dikembangkan dan dimanfaatkan oleh industri strategis dalam negeri seperti Pindad, PT.PAL dan PT.DI.
Selain TOT, industri-industri pertahanan dalam negeri juga butuh dukungan lain berupa kepastian penjualan. Pemerintah Indonesia harus menjadi konsumen pertama produk-produk industri dalam negeri tersebut. Alutsista yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri, jangan sampai kita membelinya dari luar negeri. Sehingga diharapkan industri-industri strategis tersebut dapat berkembang dan ke depannya dan semua kebutuhan TNI dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah serta kepastian pelayanan purna jual yang bebas dari boikot.

Semoga dengan melakukan tindakan-tidakan nyata di atas konflik di Laut China Selatan antara Indonesia dengan China tidak terulang kembali. Selamat hari nelayan nasional, semoga pula sumber daya alam kita di lautan dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteran nelayan dan bangsa Indonesia.

Muhammad Iqna Syarhuddin
Ketua PK KAMMI Teknik
Universitas Diponegoro

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money