Gemuruh momentum pesta demokrasi “pemilu 2009” semakin menggema di seantero pelosok negeri tercinta ini. Beribu-ribu para politisi berlomba-lomba sesumbar janji-janji perubahan terhadap bangsa ini. Tanpa menyakini apakah memang janji-janji tersebut akan mereka tepati. Pemilu, sebuah ironi yang tak ubahnya hanya sebuah obral murah janji-janji para politisi terhadap manyarakat. Atau lebih tepatnya mungkin menjual sebungkus nasi omong kosong dari para pedagang curang.
Sebuah fenomena sikap yang memperihatinkan dari para elit politisi diatas sana baru-baru ini terkait dalam pesta demokrasi ini. Dimana suatu sikap yang saling mencela, menghina, menuduh ataupun sikap negatif lainnya antara politisi yang satu dengan yang lainnya. Parahnya lagi sikap negatif tersebut dipublikasikan untuk konsumsi public yang disajikan dalam setiap kampanye politisi tersebut dalam partainya. Suatu sikap yang menurut saya “Bodoh”, karena justru menanamkan pendidikan politik”urakan pada masyarakat yang justru tidak akan menyelesaikan masalah bangsa ini. Malahan akan menyebabkan disintegrasi bangsa tercinta ini semakin melebar. Sebagaimana penyakit akut kangker yang ada dalam tubuh ini. Secara harfiyah politisi yang seperti itu berarti tidak paham terhadap permasalahan yang mendera bangsa ini. Kita tidak membutuhkan politisi yang hanya mementingkan dan merasa bahwa golongannya paling benar.
Jikalau kita “flash back” terhadap sejarah yang telah menimpa bangsa ini maka kita akan melihat disana sebuah kisah keteladanan yang menurut saya sangat luar biasa. Kita mungkin mengenal seorang M. Natsir dan Kasimo. M. Natsir merupakan salah seorang dari kelompok sebut saja “politisi muslim”. Sedangkan Kasimo merupakan salah seorang dari “politisi non islam”(baca: nasrani). Terdapat sebuah kisah menarik dari kedua politisi tersebut. Ketika dalam sidang BPUPKI dalam rangka terkait penentuan sebuah ideologi Negara Indonesia, kedua terjadi sebuah perdebatan yang sangat keras. Namun ketika di luar sidang tersebut justru mereka tampak sebagai seorang sahabat yang sangat akrab. Bahkan suasana keakraban tidak hanya diantara mereka tetapi juga sampai diantara keluarganya. Sebuah sikap yang menurut saya sangat langka pada saat sekarang ini. Mereka adalah seorang negarawan bukan politisi karena menempatkan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi. Serta sadar bahwa perbedaan bukanlah sebuah permusuhan dan bersama-sama untuk membangun bangsa ini.
Seorang negarawan adalah seorang yang dapat menghimpun bersama untuk menyatukan semua golongan dalam menghadapi dan menyeselaikan permasalahan bangsa ini. Jikalaui politisi adalah seorang yang hanya mementingkan dan merasa kelompoknya paling benar. Merasa dapat menyelesaikan permasalahan bangsa ini hanay dengan kelompoknya. Padahal permasalahan yang mendera bangsa ini harus kita selesaikan bersama.Yang menjadi pertanyaan besar sekarang apakah sosok negarawan sejati sebagaimana yang telah digoreskan dalam lembaran sejarah tersebut muncul pada saat ini? Ditengah hingar bingar pesta demokrasi ini tentu kita sangat berharap sosok tersebut akan muncul dalam pemilu tahun ini. Tapi dengan melihat realita sekarang ini dengan budaya mencela dari para elit politisi, kayaknya sangat jauh dari dari sosok negarawan sejati. Yang ada adalah politisi sejati, sang pemilik kepentinangan kelompok abadi.
Wahai engkau negarawan sejati! Kapankah engkau akan muncul menyelamatkan kami yang sudah bosan dengan nasib bangsa ini? Serta terjerat oleh para politisi terkutuk sejati yang tidak pernah lelah menghisap bangsa ini.
No comments:
Post a Comment