Kesepakatan Oslo yang ditandatangani pada tahun 1993 memulai halaman baru dalam sejarah Timur Tengah. Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin, di hadapan Presiden AS Bill Clinton, berfoto di depan para wartawan, berjabat tangan, dan membawa perundingan Israel-Palestina pada hasil kesepakatan yang sebenarnya. Dengan menandatangani Kesepakatan Oslo, kedua belah pihak saling mengakui untuk pertama kalinya dalam sejarah dan membuat kesepakatan dua negara untuk pertama kalinya.
Setelah menandatangani kesepakatan, gagasan bahwa perdamaian akhirnya akan dimungkinkan mulai merambah seluruh dunia. Telah diterima luas bahwa pertikaian Arab-Israel bisa dipecahkan secara permanen, dan bahwa perdamaian akan membawa kemakmuran dan kebahagiaan ke Timur Tengah. Shimon Peres, orang nomor dua di Israel, menulis sebuah buku berjudul The New Middle East, yang menggambarkan pemandangan membahagiaan ini. Buku itu segera terjual laris. Penampilan Israel sebagai “pembawa perdamaian” kelihatannya meyakinkan hampir setiap orang.
Akan tetapi buku kami The New Masonic Order, yang pertama kali diterbitkan pada Februari 1996 menggambarkan betapa penampilan ini tidak mencerminkan kenyataan, betapa perdamaian Israel hanyalah “perdamaian basa-basi.” Kami menerangkannya bahwa dengan berunding bersama PLO, Israel sebenarnya ingin memperburuk pertikaian antara mereka dengan Hamas, bahwa Israel sebenarnya tidak punya niat menarik diri dari Daerah Pendudukan, dan bahwa mereka hanya menjadikan perdamaian sebagai “permainan taktik.’ (Lihat Harun Yahya, The New Masonic Order, Istambul, 1996, hal. 508-520.)
Perundingan damai antara Israel dan Palestina tidak pernah membuahkan hasil, karena Israel tidak mau mencari penyelesaian. |
Enam tahun setelah penerbitan buku ini terbukti bahwa pandangan ini benar. Seluruh dunia saat ini memahami bahwa “Israel damai” di pertengahan 1990an tidak masuk akal, dan bahwa Israel melanjutkan politik pendudukannya. Proses perdamaian basa-basi yang dipelopori Israel untuk mengakhiri Intifadah hanya mengarah pada bentuk lain ketika Israel meneruskan kebijakan penindasan dan penyerangannya. Setelah semua rancangan damai palsu ini, pemilihan Ariel Sharon, “Penjagal dari Libanon,” sebagai perdana menteri menunjukkan bahwa Zionis telah memutuskan meneruskan kebijakan pendudukan mereka dan kekejaman, bukan perdamaian. Kenyataan ini adalah bukti yang cukup jelas bahwa tawaran perdamaian Israel tidaklah murni.
Tak disangkal lagi, digantinya perdamian dengan pertikaian baru berarti memicu lagi kejadian yang mengerikan. Apa yang kita harapkan, tentu saja terjaminnya perdamaian dan keamanan di Timur Tengah. Namun harus menjadi perdamaian yang adil. Israel ingin memaksakan perdamaian tak adil yang tidak diikuti penarikan diri dari Wilayah Pendudukan dan memaksa orang Islam menerima status quo. Alasan mereka melakukan ini adalah ideologi Zionis, orang Israel belum lagi merdeka dari ideologi ini.
Syarat yang diperlukan untuk perdamaian adil di Palestina meliputi hal berikut: Israel harus menarik diri dari Daerah Pendudukan, para pengungsi harus diizinkan kembali ke rumah mereka, orang-orang Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel harus diadili dengan proses yang layak, dan kedudukan akhir Yerusalem harus ditetapkan. Israel terus memaksakan pandangannya tentang semua permasalahan dan menolak mencari jalan penyelesaian. Alasannya adalah ideologi Zionis.
Sepanjang Israel tidak mau meninggalkan Zionisme, mereka akan tetap tidak bisa menghormati hak azazi manusia dan keadilan. Karena itu, semua rencananya untuk rakyat Palestina tidak akan berkeadilan. Bagi Zionis Israel, “perdamaian” berarti tidak lebih dari “gencatan senjata demi strategi” dalam peperangan yang lebih besar. Ketika kita kembali ke belakang dan melihat masa yang dimulai dengan Kesepakatan Damai 1993, kita akan melihat bahwa fakta ini benar.
Asal Mula Perdamaian Israel-PLO
Sejarah panjang pertikaian antara Israel dan Palestina diketahui setiap orang. Semenjak awal abad kedua puluh, Timur Tengah telah menjadi ajang bentrokan antara orang Islam pribumi dengan Arab Kristen dan Yahudi, yang sebagian besarnya tidak dilahirkan di Palestina. Setelah didirikannya Israel pada 1948, bentrokan ini menjadi perang terbuka. Pada 1967, ada empat perang utama dan satu bentuk perang antara Israel dan tetangga Arabnya. Setelah 1967, organisasi yang bekerja untuk membebaskan Palestina juga membuat kehadiran mereka terasa.
Perlawanan Palestina menguat ketika Israel menduduki semua tanah Palestina pada 1967. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah gerakan perlawanan yang terbentuk dengan penyatuan beberapa kelompok, meningkatkan kegiatannya khususnya dalam 1970an. Hingga 1980an, mereka memainkan peran utama dalam perjuangan rakyat Palestina. Lahirnya gerakan Islam selama 1980an memiliki dampak meluas atas organisasi ini, yang telah bertahan terutama melalui dukungan golongan kiri, pemerintah Arab sosialis, dan Uni Soviet. Kelompok Islam, khususnya yang mengorganisir dirinya di Jalur Gaza dan Tepi Barat, menjadi bentuk baku Intifadah pada 1987 dan memimpin pemberontakan ini. Pada 1990an, kekuatan mereka bertentangan dengan PLO. Tak diragukan lagi, perkembangan ini membuat Israel mengubah taktik, untuk memusatkan perhatian pada gerakan Islam baru yang bersatu dibawah ciri yang sama ini, dan bukan dengan PLO, yang telah kehilangan dukungan penting dari blok Soviet yang sekarang telah beku, yang menjadi kekuatan terbesarnya.
Israel lebih memilih membuat perubahan strategi, bukan menghadapi dua ancaman ini sekaligus. Hal terpintar yang dilakukan adalah mengakui PLO sebagai perwakilan resmi kepentingan Palestina dan lalu memainkan kartu PLO melawan kekuatan Palestina lainnya. Tentu ini berarti bahwa Israel harus sementara waktu menghentikan kebijakan penyerangan yang telah berlangsung bertahun-tahun, jika itu penting untuk taktik ini. Inilah dasar bagi Israel dan PLO memulai proses perdamaian selama awal 1990an.
Teori "Perdamaian untuk Perang"
Mundur untuk membuat gerakan lebih kuat lagi di belakang hari adalah salah satu strategi politik yang lebih dipertajam lagi. Israel mengetahui bagaimana menerapkan “strategi penarikan diri” ini ketika diperlukan. Salah satu contoh terjadi 3 tahun setelah mereka menandatangani Kesepakatan Camp David dengan Mesir. Satuan-satuan tentara Israel menyerang Libanon pada musim panas 1982, di bawah perintah penanda tangan Camp David Menachem Begin, yang mengejutkan orang-orang yang yakin pada dongeng proses perdamaian Timur Tengah. Pembantaian yang terjadi di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla sekali lagi menunjukkan apa yang sesungguhnya dimaksud Israel dengan perdamaian. Kejadian-kejadian ini membuktikan bahwa Israel tidak menandatangani Kesepakatan Camp David karena menginginkan perdamaian di Timur Tengah, melainkan karena hanya ingin menghilangkan satu hambatan (Mesir) sehingga bisa berkonsentrasi pada tujuan yang lebih penting.
Tiga tahun setelah persetujuan Camp David antara Presiden Mesir Anwar Sadat (kiri) dan Presiden Israel Menachem Begin (kanan), Libanon diserang. |
Jadi proses perdamaian 1992 hanyalah “strategi menarik diri” lainnya, sebuah taktik perang post-modern yang direkayasa seperti bunglon. Taktik ini tidak dapat menghindar dari pandangan para ahli dan cendekiawan yang mengikuti proses perdamaian itu lebih dekat. Edward Said, salah satu ahli ini, memperingatkan PLO sebelum memulai pembicaraan damai bahwa mereka telah lupa bahwa mereka berhadapan dengan “negara orang Talmud.” (Orang Talmud terikat keras dengan Talmud, Kitab Suci Yahudi.) Menurut Said, orang-orang Israel mempersiapkan jebakan di belakang setiap kata dan setiap tanda koma dari pembicaraan damai ini.120
I.SOCIALIST REVIEW, Juni - Juli 2001 Sebuah wawancara dengan ahli Timur Tengah yang terkenal Edwar Said dalam International Socialist Review ditulis dalam judul “What They Want is My Silence (Yang Mereka Inginkan Adalah agar Saya Bungkam)." Pemimpin dan pemerintah Israel telah sering berganti, namun pendudukan, serangan, dan pengeboman terus berlanjut tak terusik. (dari kiri ke kanan) Shimon Peres, Moshe Dayan, Ehud Barak, Benjamin Netanyahu, dan Ariel Sharon. |
Dengan tawaran perdamaian pertama mereka, yang menjanjikan orang-orang Palestina dengan Jalur Gaza dan Tepi Barat, pemerintah Israel berencana untuk meredam perlawanan rakyat Palestina. Rencana ini sesungguhnya adalah jebakan. Demikian pula, wilayah yang berada di bawah pengendalian Palestina berdasarkan Kesepakatan Oslo berjumlah sekitar 22% dari seluruh tanah Palestina. Bahkan, dengan menempatkan Jalur Gaza, daerah kekuatan pergerakan Islam, di bawah kendali Palestina, Israel telah membebaskan dirinya dari perlunya menghadapi kelompok perlawanan ini. Dengan kesepakatan ini, kekuatan keamanan Palestina harus menghadapi langsung kelompok perlawanan ini. Israel tidak rugi apa pun dalam tawar menawar ini, sebaliknya, terbukti menjadi tawar menawar yang paling menguntungkan. Dan memang, kesepakatan yang mengikuti Oslo membantu Israel “membersihkan” Yerusalem dari orang-orang Kristen dan Muslim.
Pastilah bukan kebetulan adanya pembangunan pemukiman di dekat Yerusalem yang dilakukan segera setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo. Pembangunan ini hanyalah sebuah hasil dari strategi yang telah direncanakan dengan lihai, yang tiap tahapnya dengan seksama dipikirkan sebelumnya.
KEDOK PERUNDINGAN: LAPORAN MITCHELL
George Mitchell, kepala Komisi Mitchell.
|
Ketegangan di Timur Tengah mencapai titik puncaknya dengan meledaknya Intifadah al-Aqsa, yang mengarahkan kalangan internasional untuk berusaha memulai perdamaian baru. Laporan Mitcell, salah satu laporan yang menarik banyak perhatian dan dipersiapkan oleh sebuah delegasi yang dipimpin oleh bekas Senator George Mitchell, memeriksa persoalan di sumbernya dan memberi usulannya. Tujuan utamanya adalah menentukan sebab mendasar ketegangan Israel-Palestina dan memberi usulan bagaimana mencegah pertikaian seperti ini di masa mendatang. Meskipun laporan ini dipersiapkan tidak kurang dari 8 bulan, laporan ini tidak memberi hasil yang diinginkan. Seperti halnya banyak laporan lain dalam upaya perdamaian Timur tengah, Laporan Mitcell adalah sebuah pemecahan sementara yang direkayasa, bukan upaya murni untuk mengekalkan perdamaian.
Tentu Laporan Mitchell berisi materi yang dimaksudkan untuk memuaskan ke dua belah pihak. Namun, karena kekurangan materi mendasar, laporan ini tidak mampu mengemukakan masalah sesungguhnya dan kekurangan sanksi dan saran yang murni. Sewaktu menyatakan bahwa Israel telah menggunakan kekerasan berlebihan, laporan ini juga menuduh Yasser Arafat melakukan sabotase terhadap Kesepakatan Oslo dan tak mampu menemukan penjahat dan korban sebenarnya. Para anggota komite, yang mendesak agar ini tidak dijadikan delik hukum, tidak menyebutkan berlanjutnya teror Israel atau pembantaian yang terjadi belakangan. Ketika laporan itu ditelaah secara rinci, jelaslah bahwa ketika anggota komite berkata bahwa meraka “tidak akan menghukum siapa pun,” apa yang mereka maksudkan adalah bahwa mereka “tidak akan mengenakan keputusan keras apa pun atas Israel.” Ahli Timur Tengah Daniel Pipes menerangkan sikap (seolah-olah) netral dalam laporan ini dengan mengatakan: “Seandainya komite Mitchell diminta menilai pecahnya Perang Dunia II, mungkin ia akan menyesali Hitler melintasi perbatasan Polandia tapi mengimbanginya pula dengan desas desus tentang pernyataan “menghasut” dari Warsawa (Polandia)."1
Sebelum laporan ini diterbitkan pun, komentar pejabat Israel senior yang diterbitkan dalam surat kabar Israel Ha’aretz memberi isyarat penting tentang apakah semua itu akan menghasilkan perdamaian berkeadilan. Pejabat ini menyebut bahwa laporan ini mungkin akan menuduh orang Palestina melakukan sabotase atas perundingan damai dan orang Israel karena melakukan kekerasan berlebihan dan terus membuka wilayah pemukiman baru. Namun, yang lebih penting lagi adalah pernyataannya bahwa “[Israel] akan dapat menghadapi keluhan-keluhan pada umumnya, seperti kritik tentang pemukiman atau penggunaan kekuatan… tapi akan menghadapi kesulitan dalam menghadapi saran-saran pelaksanaan yang dibuat oleh laporan itu. Termasuk di dalamnya seruan kepada para pengamat internasional dan himbauan supaya ada perwakilan internasional di Hebron."2 Pejabat Israel lainnya menimbulkan kegaduhan dengan komentar berikut:
Kami mendesak agar komisi berpegang pada wewenangnya saja… ini berarti memperjelas fakta dan tidak melampaui batas itu. Kami tidak akan membiarkan laporan ini menjadi pijakan agar pertikaian ini dijadikan masalah internasional dengan menempatkan pengamat internasional.3
Ketika laporan ini diterbitkan, laporan itu tidak berisi “arahan khusus,” seperti yang diinginkan Israel. Dengan hanya memuat kritik umum, laporan ini sepenuhnya sesuai dengan kemauan Israel. Memang, meskipun telah lama berlalu semenjak terbitan laporan itu, fakta bahwa tank-tank Israel terus merangsek ke wilayah Palestina menunjukkan betapa “berhasilnya” laporan ini membawa perdamaian ke wilayah ini.
Satu-satunya jalan untuk memastikan adanya perdamaian yang kekal adalah menunjukkan sikap yang benar-benar tidak berat sebelah dan melindungi hak orang-orang tertindas, dalam keadaan apa pun. Dalam hal Palestina, sangat jelas kelompok mana yang dizalimi dan perlu perlindungan hak. Sebelum hal-hal lainnya, Israel harus menarik diri dari Daerah Pendudukan dan mengembalikan pada rakyat Palestina seluruh hak-hak yang telah mereka ingkari. Persoalan ini telah sering diagendakan oleh orang Israel yang menginginkan perdamaian. Inilah pernyataan pergerakan "Perdamaian Saat Ini Juga":
Saat ini kita menemukan diri kita di tengah-tengah sebuah perang kemerdekaan Palestina. Perang yang kejam dan tak perlu ini dimulai karena pendudukan paksa Israel pada tahun 1967 atas tanah Palestina, penindasan dua juta orang melalui pendudukan ini, dan keinginan Israel untuk melanjutkan pendudukan ini. Hanya ada satu akhir untuk perang ini: penarikan diri Israel dari wilayah-wilayah pendudukan dan berdirinya Negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Akhir dari pendudukan dan serangan ini dapat mengawal sebuah zaman perdamaian di daerah ini."4
Sepanjang syarat ini tidak terpenuhi, seluruh perundingan damai dan saran-saran kompromi akan gagal mencapai tujuannya. Sepanjang Israel tidak menghentikan kekerasan, upaya-upaya diplomasi tidak akan berarti apa-apa. Akhirnya, di Palestina suara meriam, tank, dan rudal akan lebih keras dari suara-suara diplomasi.
Ariel Sharon Bersiap untuk Perang
Sebuah laporan berita yang diperoleh dari majalah strategi pertahanan Jane’s Defense Weekly di paruh akhir Juli 2001 menunjukkan sekali lagi cara Sharon merencanakan membawa perdamaian ke wilayah Palestina. Menurut laporan ini, militer Israel tengah mempersiapkan rencana perang yang akan melibatkan 30.000 tentara, pesawat tempur F-15 dan F-16, pengeboman bertubi-tubi, dan kendaraan perang berat. Tujuan operasi ini adalah menghapus kemungkinan kekuatan-kekuatan Palestina membangun diri lagi.
Bagian paling menarik dari rencana ini adalah bagaimana semua ini dihidupkan, seperti dilaporkan oleh CBS News. Pemerintah Israel telah menetapkan rencana yang mengagungkan ideologi dan masa lalunya: Perang yang akan direncanakan dengan bom bunuh diri terhadap wilayah dengan penduduk Yahudi terpadat. Rencana seperti ini menarik karena memperlihatkan bersedianya Israel mengabaikan kehidupan rakyatnya sendiri, jika perlu, untuk mencapai tujuan Zionisnya. Informasi ini dilaporkan oleh CBS:
Laporan ini mengatakan rencana penyerangan Israel akan dilancarkan setelah seragan bom bunuh diri lainnya yang menyebabkan sejumlah besar kematian, seperti yang terjadi di kelab malam Tel Aviv akhir bulan yang lalu.5
Dengan laporan ini, dan naiknya Sharon ke pucuk kekuasaan, diharapkan agar ketegangan wilayah akan meningkat pesat, dan Israel dapat menarik diri sepenuhnya dari proses perdamaian dan meningkatkan penggunaan kekuatannya. Dengan memilih “Penjagal Libanon” sebagai pemimpin mereka, para Zionis memberi tanda awal bahwa perang seperti itu akan datang. Pihak Palestina telah meramalkan keadaan seperti ini. Dengan adanya Sharon dalam kekuasaan, kemungkinan bahwa perang hidup mati akan pecah adalah kemungkinan yang tidak dapat diabaikan.
Meski perang ini mungkin adalah operasi yang hanya ditujukan pada PLO, perang itu bisa menjadi perang wilayah, menyeret negara-negara tetangganya. Tentu saja, dunia tidak akan melihat pewujudan sesungguhnya perang ini, melainkan, seperti yang selalu terjadi, hanya sisi yang mereka inginkan untuk dilihat dunia. Sebuah artikel dalam The Independent berbunyi:
Saya perkirakan ini adalah cerita usang yang sama. Orang-orang Israel hanya ingin perdamaian. Orang-orang Palestina yang amburadul, pembuat kekacauan, dan pembunuh, yang sepenuhnya harus disalahkan atas 95 kematian di pihaknya sendiri, hanya mengenal kekerasan. Itulah yang dikatakan juru bicara militer Israel tadi malam. Kekuatan, katanya, “hanyalah satu-satunya bahasa yang mereka pahami.” Yang akan datang mendekat pada pernyataan perang seperti yang bisa kalian dapatkan.6
1- Daniel Pipes, Mitchell Report Missed It, The Washington Times, 30 Mei 2001
2- Aluf Benn, Israel Braces for Mitchell Report, Ha'aretz, 24 April 2001
3- Aluf Benn, Israel Braces for Mitchell Report, Ha'aretz, 24 April 2001
4- Yeni Safak Turkish Daily, 25 Mei 2001
5- CBS, 12 Juli 2001
6- The Independent, 13 Oktober 2001
2- Aluf Benn, Israel Braces for Mitchell Report, Ha'aretz, 24 April 2001
3- Aluf Benn, Israel Braces for Mitchell Report, Ha'aretz, 24 April 2001
4- Yeni Safak Turkish Daily, 25 Mei 2001
5- CBS, 12 Juli 2001
6- The Independent, 13 Oktober 2001
|
Seberapa Fair-kah Oslo?
Seperti telah dilaporkan sebelumnya, Kesepakatan Oslo 1993 disambut dengan semangat oleh media Barat dan beberapa kelompok yang menginginkan perdamaian di Timur Tengah. Akan tetapi, tahun-tahun setelahnya yang bergulir tidak memperkuat semangat mereka. Media Barat terus mengikuti pola Israel dalam masalah perdamaian, seperti yang mereka lakukan dalam banyak persoalan lain. Orang-orang Palestina dituduh tidak mendukung perdamaian, meskipun beberapa tuntutan mereka telah diberi, dan menggambarkan mereka sebagai dengan kejam menolak kesempatan yang ditawarkan oleh Israel kepada mereka untuk mencapai “negara sendiri."
Akan tetapi, kenyataannya adalah sebaliknya, karena Israel tidak menawarkan pada mereka apa yang pantas mereka dapatkan. Kenyataannya, Israel menyuap Palestina agar tidak menghalangi jalannya.
Pertama, dan terpenting, tanah yang disepakati Israel diberikan sebagai tanah Palestina yang jumlahnya kurang dari 22% dari wilayah Palestina sebenarnya, dikepung oleh tentara Israel, dan dipisahkan satu sama lain dengan jalan-jalan yang hanya dapat digunakan oleh orang-orang Yahudi. Perincian lain yang tak boleh dilupakan adalah bahwa tanah ini adalah tanah gurun yang tandus. Bahkan, perbatasan, udara, dan air tanah “negara merdeka Palestina” berada di bawah kendali Israel.
Sementara kalangan menganggap pembagian oleh Israel atas wilayah Palestina dalam tiga wilayah (yakni A, B, dan C) sebagai kesepakatan yang penting. Padahal, berdasarkan contoh ini, ketika satu jalan Yerusalem berada di bawah kendali polisi Palestina, maka jalan berikutnya akan dikendalikan oleh tentara Israel. Akibatnya, orang Israel bisa menyeberang ke jalan ini, sehingga membawa militer Israel ke wilayah Palestina, seperti yang mereka lakukan saat ini di Jalur Gaza dan Tepi Barat kapan pun mereka mau. Kita tidak bisa membicarakan negara Palestina yang berdaulat dengan keadaan seperti ini.
Usulan Israel untuk memberikan sebagian Yerusalem di bawah kendali Palestina tak berarti apa pun selain tipuan. Seperti banyak persoalan lainnya, Israel hanya tertarik memanipulasi orang-orang Palestina untuk keuntungannya sendiri. Robert Fisk menyebutkan kenyataan ini dalam salah satu artikelnya:
Dan Otoritas Palestina mengetahui semuanya dengan terlalu baik, apa arti “kendali” di Yerusalem. Ketika orang-orang Arafat mengumpulkan sampah, dengan mengerahkan polisi jalanan dan tetap mengatur rakyatnya sendiri, Israel terus memegang kedaulatan di seluruh Yerusalem.121
Selain ini, Kesepakatan Oslo tidak memberi orang Palestina, yang dipaksa terusir dari rumah dan tanahnya karena teror Israel pada 1948, hak untuk pulang. Mustahil memecahkan masalah Palestina tanpa mengizinkan para pengungsi kembali.
Kesimpulannya, “Israel yang Damai” yang tampak di kulitnya dan mengungkapkan kepalsuannya pada tahun 2000 jelas tidak mencerminkan kebenaran sesungguhnya. Sepanjang Israel memandang Yerusalem dan seluruh tanah Palestina sebagai hak miliknya, menganggap orang-orang Palestina sebagai “binatang berkaki dua,” dan melihat dunia dari kaca mata kabur Darwinisme Sosial, mereka tidak akan bisa membawa perdamaian ke Timur Tengah.
Jalan yang Benar Menuju Perdamaian
Pertanyaan tentang bagaimana perdamaian, yang adil dan berkeadilan, bisa dibawa ke Timur tengah akan dijawab dengan meninjau sejarah.
Seperti dibahas sebelumnya, satu-satunya pemerintahan yang pernah memungkinkan Yahudi, Kristen, dan Islam hidup bersama dalam damai dan keamanan di Palestina adalah pemerintahan Islam: yakni Kesultanan Ottoman. Alasannya adalah karena pandangan-pandangan Islam tidak mengandalkan ideologi brutal apa pun seperti Zionisme atau pun yang menyebabkan Perang Salib. Pengikut Islam sejati tidak akan melihat dunia melalui cermin buram Darwinisme Sosial, seperti yang dilakukan Zionis. Islam juga mengajarkan orang beriman bahwa segala amarah yang mereka luapkan pada suatu masyarakat tidak boleh menyeret mereka pada ketidakadilan. Bahkan, Islam menganggap Yahudi dan Kristen sebagai Ahli Kitab dan menghormati hak mereka untuk hidup, beribadah, dan memiliki harta.
Karena alasan ini, memperkuat Timur Tengah sekaligus masyarakat Islam dunia akan membawa perdamaian dan keamanan tidak hanya pada dunia Islam melainkan juga pada negara dan orang lain dari keimanan berbeda. Sepanjang sejarah, pemerintahan Muslim yang adil dan benar telah mendapat penerimaan orang Non-Muslim, dan begitu pula yang akan terjadi di masa depan. Muslimin tidak pernah mengabaikan Yerusalem atau menerima kota suci ini sebagai “Ibu Kota Abadi Israel.” Oleh karena itu, pemecahan yang paling masuk akal adalah Yerusalem Timur yang diperintah oleh sebuah badan pemerintahan Palestina, tapi di bawah arahan sebuah badan di mana anggota ketiga agama diwakili dan sejajar kedudukannya, sebagai kota merdeka dan bebas senjata. Tentu saja, pemerintah ini harus hidup dan menjalankan etika agama mereka masing-masing. Dalam Yerusalem seperti ini, orang-orang Kristen dan Yahudi akan merdeka, demikian pula orang-orang Islam. Rencana ini memegang kunci ke arah keselamatan sejati bagi Palestina dan Timur Tengah.
Lingkungan damai, adil, dan bertenggang rasa yang dirasakan selama abad pemerintahan Ottoman adalah contoh terbaik tentang hal ini. Semenjak akhir pemerintahan Ottoman di daerah ini, sekalipun telah banyak pemerintahan dan kebijakan yang diupayakan, Timur Tengah tidak pernah mengalami lagi kedamaian dan stabilitas.
Daerah berwarna pada peta di atas menunjukkan jangkauan terjauh Kesultanan Ottoman. Selama 600 tahun, Kesultanan Ottoman membawa ketertiban kepada ketiga benua dan memberi contoh bagi seluruh pemerintahan tentang keadilan, toleransi, dan kasih sayang. |
JEJAK KESULTANAN OTTOMAN
Kesultanan Ottoman membawa peradaban ke tiap negara taklukannya, membangun mahakarya baru dan memperbaiki yang sudah usang. |
Peta ini menunjukkan Palestina selama masa Ottoman. Investasi yang ditanam di Palestina selama zaman ini memperbaiki mutu kehidupan di wilayah ini secara luas. Masa Ottoman yang membawa manusia dari seluruh suku bangsa dan agama dengan damai di seluruh tanah ini adalah contoh yang amat penting. |
120- Richard H. Curtis, "How Bad Is the Israeli Palestinian Peace Accord?" The Washington Report on Middle East Affairs, Juni 1994, hlm. 11.
121- Robert Fisk, "Sham Summit Promised Little for Palestinians," The Independent, Desember 29, 2000, tanda penegasan ditambahkan.
121- Robert Fisk, "Sham Summit Promised Little for Palestinians," The Independent, Desember 29, 2000, tanda penegasan ditambahkan.
sumber: http://www.tragedipalestina.com/muslihatdamai.html
No comments:
Post a Comment