Pages

Affirmative Action yang Menyimpang, Keadilan Harus Ditegakkan

Kata affirmative action seharusnya lebih mereferensikan kepada seseorang berkekurangan atau kaum minoritas yang diberikan perlakuan yang istimewa supaya bisa hidup setara dengan yang lain. Contoh affirmative action seperti penyetaraan orang cacat untuk bisa masuk dalam sekolah biasa, sehingga mereka bisa bersama-sama bersekolah, sama halnya dengan penyetaraan sekolah untuk ras kulit hitam dan kulit putih di zaman dahulu. Namun pada bahasan ini kita tidak akan berbicara mengenai orang cacat ataupun rasisme untuk kebijakan affirmative action. Kita akan memakai kata affirmative action untuk kasus korupsi, penyelewengan dana, ataupun tindak pidana di negeri ini.

Saya rasa kebijakan pemerintah untuk hal affirmative action sudah terlalu melebar dan menyimpang, hal ini akan mengaburkan aturan-aturan yang seharusnya rigid (kaku) dan tidak memihak. Mungkin Anda sudah pernah mendengar mengenai kasus 'penjara istimewa' yang diterima para tahanan kaya di negeri ini. Anda juga pasti dibingungkan dengan banyaknya permasalahan korupsi di negeri ini yang tindakan hukumnya belum terlalu adil. Dapat kita bayangkan bagaimana kesalahan aplikasi affirmative action ini terlalu meluas sehingga supremasi hukum sudah terlalu lemah mengatasi itu semua.

Mari kita flashback sedikit mengenai kasus Artalyta Suryani, sang mafia hukum yang penjaranya mewah untuk sekelas tahanan wanita, atau kasus Lidya Pratiwi, mafia kasus pembunuhan yang juga 'hidup bahagia' di dalam penjara mewah. Cukup mengherankan, penjara tempatnya para mafia jera justru menjadi surga baru. Menurut sumber yang ada, penjara mewah itu bukan barang yang langka, dan untuk menyewanya pun tidak sulit, cukup membayar sewa 30 juta ditambah uang keamanan 1,25 juta. Tentunya, uang sebanyak itu akan terhitung sedikit bagi mereka para koruptor yang sudah 'berkorupsi-ria' berjumlah miliar bahkan trilyunan, luar biasa. Sebenarnya ada apa dengan 'penegak hukum' di zaman sekarang, hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Merupakan hal yang mustahil penegak hukum tidak mengetahuinya, kecuali ada permainan di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, inikah bentuk affirmative action yang terjadi di lapangan? Semoga tidak demikian. Baiklah, mari kita lanjutkan.

Mari kita lihat perlakuan hukuman untuk para koruptor di Indonesia. Kita tentunya tidak lupa dengan kasus mantan direktur PT BPUI yang divonis bebas atas kasus korupsinya sebesar 369 miliar, terlalu tidak adil jika kita bandingkan dengan kasus pencurian 3 buah kakao oleh seorang nenek di Banyumas yang dijatuhi hukuman 1 bulan penjara, dan juga vonis nenek pencuri durian seharga 250 ribu di Meulaboh yang dihukum setahun penjara. Dan lagi, tentunya kita juga masih teringat dan harus teringat dengan kasus Bank Century yang seakan tenggelam dan cenderung ditarik-ulur, seolah ada skandal yang sangat besar dan krusial apabila diungkap dengan jelas. Kasus tersebut seolah hilang atau memang sengaja dialihkan karena menyangkut banyak pejabat penting di negeri ini. Kembali ke pertanyaan awal, inikah bentuk affirmative action yang terjadi di indonesia?

Affirmative action yang cukup menyimpang saat ini menjadi hal yang biasa dalam keadilan di Indonesia. Seolah para elit ingin menafikan dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi seolah menjadi alat pemenang bagi yang berkepentingan, keadilan memihak kepada yang berkuasa, hukum rimba zaman jahiliah kembali di era modern. Kewibawaan negeri ini seolah hancur dengan keadilan yang mengedepankan bentuk affirmative action yang menyimpang ini. Haruskah kita terus seperti ini?

Apa yang harus diubah? Menurut pribadi penulis, yang perlu dikuatkan perubahannya adalah komitmen bersama untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah ini. Komitmen akan supremasi hukum dengan keadilan yang tinggi. Sistem tidak akan berjalan baik apabila komitmen masih loyo dan bermental banci. Mari perbaiki bersama, hilangkan affirmative action yang menyimpang, keadilan yang tegak sangat kita dambakan selaku sesama rakyat. Kita selaku rakyat sangat menunggu perbaikan dari pemerintah selaku penyelenggara negara. Semoga pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan keadilan di negeri ini. Semangat, Pemerintah!


Ditulis oleh:
Muhammad Syarief
(Staf Departemen Kajian Strategis PK KAMMI FT Undip)

(editor: Fafa)

No comments:

Post a Comment