Pages

Seharusnya Kita Marah

Sejarah kebangkitan Indonesia dari masa otoritarian sejak 1998 silam terhitung 16 tahun lamanya hingga saat ini. Selama 16 tahun ini pula, pergerakan mahasiswa mulai bergeliat menyuarakan suaranya, memproklamirkan diri sebagai oposisi pemerintah. Alumni-alumninya mulai banyak yang berkarir menjadi politisi dan anggota dewan. Tapi kenyataannya, adakah perubahan itu yang dulunya dihiasi dengan semangat Reformasi? Mungkin belum! Lantas kapan? Rijalul Imam, dkk, telah meramalkan di tahun 2014 ini KAMMI mulai memasuki mihwar dauli. Hal itu tentu saja harus diimbangi dengan pengokohan visi KAMMI, membentuk kader-kader yang siap terjun di kancah perpolitikan Indonesia. Perjuangan selama 16 tahun ini ternyata masih belum cukup untuk mengisi stok kader guna siap didistribusikan di pemerintahan, mentok masih sebatas anggota DPR alias masih stag di ishlahul hukumah. Calon presiden Indonesia masih digawangi oleh bapak-bapak kita yang notabene berumur 60 tahun-an. Mungkin 10 tahun lagi. Ya! Bisa jadi 10 tahun lagi dengan rerata usia alumni kader KAMMI sekitar 40 tahun-an.
Menunggu masa 10 tahun itu banyak agenda yang harus sudah mulai dirancang jika benar-benar serius ingin mencapai mihwar dauli. Agar umat Islam tidak kembali dipencundangi seperti selama beberapa dekade ini. Saban pemilu agama dijual oleh kandidat capres demi penerimaan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Tapi setelah itu, apa yang didapat oleh umat Islam? Kekecewaan demi kekecewaan yang senantiasa kita rasakan. Ketidakadilan yang mendiskreditkan Islam yang selalu kita dapatkan. Umat Islam tidak butuh embel-embel Islam kalau pada akhirnya tidak berimplikasi pada kebijakan politiknya. Hal itu semakin diperparah dengan partai Islam yang tidak kunjung dewasa belajar dari sejarah masa lalu. Partai Islam sudah terlanjur nyaman berjuang secara sporadis untuk mencapai, entah apa yang sebenarnya hendak dicapai.
Ada yang mengutuk demokrasi sebagai lingkaran setan yang berakibat pada terhambatnya perubahan dan perbaikan. Lantas apa yang hendak ditawarkan sebagai solusi alternatifnya? Mengganti demokrasi dengan sistem lain? Sejarah peradaban  Islam membuktikan bahwa kepemimpinan umat tidak cukup hanya dengan penaklukan tanpa ada pembelajaran bagaimana mengelola sistem pemerintahan yang ada. Pembelajaran yang bukan sekedar teori tapi juga praktek.
Masih ingat dulu umat Islam punya kekhilafahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah? Perlu diketahui, Bani Umayyah dibangun di atas tata kenegaraan persis Romawi dan Bani Abbasiyah dibangun di atas tata kenegaraan persis Persia. Apa itu pantas disebut Khilafah? Bahkan parahnya, Perdana menteri Umayyah di Andalusia selalu Yahudi atau Nasrani, belum pernah sekalipun Muslim bahkan sejak masa keemasaannya ketika dipimpin oleh Abdurrahman III. Tidak jauh berbeda dengan Umayyah, Perdana Menteri Abbasiyah rata-rata dari kalangan Majusi yang terdepan. Apa sebab? Karena yang dirasa paling berkompeten adalah mereka-mereka yang sayangnya secara akidah bermasalah. Saat itu tidak ada penyiapan Sumber Daya Manusia yang memadai untuk mengisi pos-pos penting itu, utamanya dari kalangan Muslim. Dari fakta sejarah ini, kita bisa melihat bahwa pada saat itu Islam sedang mengalami krisis kepemimpinan selain miskin pengalaman dalam sistem pemerintahan kontemporer. Tidak siap mengelola apa yang sudah didapatkan.
Sudah seharusnya kita marah dengan keadaan yang yang tidak kunjung membaik bahkan terkesan set back. Namun, kemarahan kita bukanlah kemarahan yang memperturutkan nafsu hingga melahirkan arogansi dan menghilangkan akal sehat. Kemarahan kita adalah semangat dan keinginan untuk memperbaiki segala sesuatunya yang masih bisa diperbaiki dengan potensi yang kita miliki. Mempersiapkan masa 10 tahun guna membangun basis kultural dan struktural, pengoptimalan multistakeholder partnership dan mencapai puncak kepemimpinan Indonesia dengan pemimpin yang imani dan mumpuni. Kemenangan adalah kepastian. Kita hanya mengikhtiarkan sebab.


Siapapun pemimpinnya saat ini, 10 tahun ke depan adalah KAMMI! 

(ditulis sebagai refleksi Pemilu saat ini)

No comments:

Post a Comment