Pages

Ironi LCS di Hari Nelayan Nasional

Belum lama ini kita dikagetkan dengan insiden penangkapan kapal nelayan China, KM Kway Fey dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut China Selatan. Jika dikaitkan dengan momen saat ini, yakni Hari Nelayan Nasional sebenarnya insiden ini cukup membuat kita gerah. Bagaimana tidak? di tengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan pentingnya menjaga SDA laut Indonesia untuk masa depan dengan disahkannya beberapa kepres yang melarang penggunaan pukat (trawl) di saat yang bersamaan pula nelayan China di wilayah Indonesia secara ilegal melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan pukat.



Penggunaan pukat memang membawa dampak buruk bagi lingkungan maupun bagi nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas nelayan di Indonesia. Saat ini penangkapan menggunakan pukat banyak dilakukan oleh kapal-kapal asing yang bertonase besar. Dengan demikian hasil tangkapan mereka jauh lebih tinggi daripada hasil tangkapan nelayan tradisional. Hal ini tentu memberikan dampak buruk. Pertama jumlah ikan di lautan akan berkurang dan ini juga berdampak pada berkurangnya jumlah tangkapan ikan nelayan tradisional Indonesia. Selain itu penangkapan ikan menggunakan pukat dapat mengancam persediaan ikan di masa mendatang. Karena jaring yang digunakan pada metode ini memiliki lubang yang lebih kecil dibandingkan jaring yang digunakan nelayan tradisional. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi ikan-ikan kecil sekalipun untuk menjadi besar dan berkembang biak. Mungkin kita pernah menonton film animasi "Nemo" sang ikan badut, nah kira-kira seperti itulah bahayanya pukat (trawl), bedanya ini teradi di dunia nyata, dan di Indonesia.

Kembali lagi ke kasus insiden di laut china selatan. Jakarta memang telah melayangkan protes ke Beijing. Namun tanggapan pemerintah China atas insiden ini tidak lebih dari tanggapan yang arogan. Mereka menganggap bahwa wilayah tersebut masih termasuk wilayah China. Klaim ini didukung dengan masuknya wilayah perairan ini ke dalam kawasan wilayah tradisional penangkapan ikan China. Padahal alasan tersebut tidak dapat diterima dalam hukum internasional. Mungkin karena China kini telah merasa kuat dengan kebangkitan ekonominya juga kekuatan militernya yang dari tahun-ketahun selalu mendapatkan kenaikan anggaran maka mereka berani melakukan tindakan arogan semacam itu. Dan tindakan semacam ini sebelumnya pun sudah dirasakan oleh negara-negara Asean lainnya seperti Vietnam, Filipina dan Malaysia.

Saatnya melawan!
Tindakan arogansi China sudah sepatutnya kita lawan. Jika di zaman pemerintahan SBY Indonesia memiliki jargon Zero Enemy, sudah selayaknya Pemerintah sekarang mengganti jargon itu. Mari buktikan bahwa visi Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan cuma retorika belaka yang dijajakan ketika pilpres saja. Tetapi visi itu harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan nyata. Ada beberapa hal yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalah dengan China ini.

Evaluasi ulang kerjasama ekonomi
Beberapa tahun belakangan China memang getol sekali menanamkan modal ke negara-negara berkembang. Perilaku China tersebut diduga bertujuan agar ekonomi di negara-negara berkembang semakin membaik, ketika ekonomi di negara berkembang baik maka otomatis negara-negara berkembang tersebut yang juga merupakan konsumen produk-produk China diharapkan dapat lebih “konsumtif” sehingga memberikan dampak positif juga ke perekonomian China. Sekilas skema ini terlihat menarik, seperti simbiosis mutualisme. Namun yang namanya pinjaman tentu punya syarat yang harus dipenuhi. Syarat ini lah yang kadang dijadikan “tali pengekang” bagi pemberi pinjaman ke negara peminjam. Dalam kasus Laut China Selatan ini, tentu apabila kita ingin memiliki kekuatan diplomasi yang baik maka “tali pengekang” ini harus kita tanggalkan. Seperti perkataan presiden Jokowi pada Perayaan Konferensi Asia Afrika tahun lalu di Bandung, beliau mengajak pemimpin-pemimpin negara lain untuk membentuk tatanan ekonomi dunia yang baru, yang menghilangkan dominasi negara atas warga negara lain. Semoga perkataan beliau bukan hanya hal simbolis seperti yang dituduhkan salah satu petinggi IMF terhadap Jokowi.

Perkuat Militer dan Industrinya
Ada ungkapan yang cukup masyhur di dunia kemiliteran, “Jika kita ingin kedamaian, maka kita harus siap berperang”. Sebuah ungkapan yang menurut saya tidak salah. Karena ketika kita memiliki postur pertahanan negara yang kuat maka akan memperkecil kemungkinan negara lain untuk mengusik Indonesia, yang berarti potensi konflik pun akan semakin kecil.

Saat ini Indonesia memiliki program Military Essential Force (MEF) II, sebuah program yang digagas Presiden SBY untuk mengembalikan kekuatan TNI pada kekuatan minimalnya. Itu artinya saat ini kekuatan TNI masih belum optimal. Jangankan maksimal, minimal saja belum. Untuk itu di MEF II pemerintah banyak mendatangkan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) baru mulai dari Main Battle Tank Leopard dari Jerman, Landing Platform Dock dan kapal selam dari korea selatan, panser dan pesawat sukhoi dari Rusia, f-16 (bekas) dari Amerika, rudal-rudal dari China dan banyak lagi.

Namun daya deterensi militer suatu negara tidak dapat diukur hanya dari jumlah alutsistanya saja. Tetapi juga dari penguasaan teknologi militernya. Karena bagi negara yang memiliki banyak alutsista namun tidak menguasai teknologinya akan mudah sekali disetir negara produsen. Seperti yang terjadi saat pergelaran pasukan TNI di Aceh untuk menumpas GAM. Amerika dan sekutunya sepakat memboikot Indonesia sehingga banyak alutsista Indonesia yang tidak bisa operasional karena ketiadaan sparepart, tentu kita tidak ingin hal itu terulang kembali. Untuk mengatasi hal itu undang-undang telah mengamanatkan adanya skema Transfer of Technology (TOT) dalam setiap pembelian alutsita ke luar negeri. Skema TOT adalah skema pembelian alutsista yang mensyaratkan adanya pemberian teknologi dari negara penjual ke Indonesia. Teknologi yang sudah didapatkan akan dikembangkan dan dimanfaatkan oleh industri strategis dalam negeri seperti Pindad, PT.PAL dan PT.DI.
Selain TOT, industri-industri pertahanan dalam negeri juga butuh dukungan lain berupa kepastian penjualan. Pemerintah Indonesia harus menjadi konsumen pertama produk-produk industri dalam negeri tersebut. Alutsista yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri, jangan sampai kita membelinya dari luar negeri. Sehingga diharapkan industri-industri strategis tersebut dapat berkembang dan ke depannya dan semua kebutuhan TNI dapat terpenuhi oleh produksi dalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah serta kepastian pelayanan purna jual yang bebas dari boikot.

Semoga dengan melakukan tindakan-tidakan nyata di atas konflik di Laut China Selatan antara Indonesia dengan China tidak terulang kembali. Selamat hari nelayan nasional, semoga pula sumber daya alam kita di lautan dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteran nelayan dan bangsa Indonesia.

Muhammad Iqna Syarhuddin
Ketua PK KAMMI Teknik
Universitas Diponegoro

No comments:

Post a Comment