Pages

Sedikit Lebih Dalam: Qur'an Inspirasi Ilmu Pengetahuan


Sudah menjadi suatu tugas bagi manusia, mengevaluasi diri pasca Ramadhan usai. Sejauh manakah iman dan amal kita bertambah, sehingga makna “Syawal” benar-benar teraplikasi secara harfiah dan maknawiyah. Allah SWT telah mengisyaratkan banyak perintah dalam Al-Qur’an agar manusia melakukan evaluasi. Afalaa tatafakkaruun...atau Afalaa ta’qiluun. “Apakah kamu tidak memikirkan?” Pertanyaan-pertanyaan retoris tersebut seringkali disandingkan dengan perintah untuk memperhatikan alam semesta beserta segala fenomena didalamnya.

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (clue) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Q.S. Adz-Dzaariyaat (51) : 20-21) 

Ada sesuatu yang menarik dari kegiatan tafakkur ini. Sebagaimana kita tahu, seluruh mahluk yang diciptakan-Nya selalu bertasbih dengan cara-cara yang unik. Mereka telah bertauhid dengan cara mereka sendiri. Dengan interaksi kita dengan para mahluk Allah ini, semestinya ada “getaran-getaran dzikir” yang kita rasakan. Layaknya saat kita berinteraksi dengan orang yang sedang berdzikir, sedang mengingat Allah, kita akan rasakan bahwa ia sedang mengingat Tuhanya. Sesuatu yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati, begitu rumusnya. Nabi Ibrahim ‘alaihi salam bahkan “menemukan” prinsip ketauhidan dari tafakkur. Terlepas dari keistimewaan hati dan iman beliau, tafakkur ini juga bisa kita lakukan untuk menggapai kesadaran bertauhid. 

Pertanyaanya, tafakkur yang bagaimana ? 

Mencari contoh yang terbaik, tentu contoh yang diberikan Allah SWT. Maka apa yang dilakukan para Nabi dan Rasul, juga orang-orang terdekat mereka adalah referensi terbaik. Hal yang paling menonjol dari diri mereka ketika bertafakkur, tentunya kejernihan hati. Ibrahim kecil dibesarkan di gua terpencil. Ia punya curiousity dan criticism yang tinggi. Namun sifat dan akhlaq mulia tetap terpancar dari perkataanya. Nabi Ibrahim menuntun pemikiran-pemikiranya dengan akal sehat, objektif. 

"Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: 'Inilah Tuhanku,' tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam"

"Kemudian tatkala dia melihat sebuah bulan terbit dia berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.'" 

"Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: 'Inilah Tuhanku. Inilah yang lebih besar.' Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: 'Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'"
(QS. al-An'am: 76-79) 

Begitu pula ketika ia menghadapi paganisme kaumnya dengan akal sehat : 

"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, nescaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan itu derhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahawa kamu akan ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.'" (QS. Maryam: 42-45) 

Dalam bahasanya Pak Agus Mustofa, penulis buku serial Diskusi Tasawuf Modern, menyebutkan Al-Qur’an sebagai Inspirasi bagi Sains. Beliau menyebutkan bahwa Al-Qur’an memang bukan kitab sains. “Al-Qur’an memang bukan sains dan tidak layak ditandingkan denganya. Ayat-ayat Qur’an berada di ‘hulu” sedangkan sains berada di ‘hilir’”, sebutnya. Namun Allah memberikan banyak clue (petunjuk)–sebagaimana sebutan Al-Qur’an sebagai Huda–mengenai berbagai hal di alam semesta. Banyak inspirasi, maupun filosofi yang dapat digali dari ayat-ayat Qur’an. Ini berlaku untuk semua disiplin ilmu, mulai dari Astronomi, Fisika, Geologi, Kimia, Matematika, bahkan Ekonomi, Sosiologi, Psikologi, Politik, dan sebagainya. Ilmuwan, dalam hal ini menjadi subjek-subjek pengembang sains. Al-Qur’an menstimulasi perkembangan ilmudan membimbingnya agar tetap on the right track. Maka semestinya, pengkajian yang mendalam terhadap suatu ilmu mengantarkan ‘si pengkaji’ menuju hujjah-hujjah ketauhidan yang akan lebih menancap di hatinya. Kuncinya–seperti yang dicontohkan para Nabi dan Rasul–adalah niat hati kita. Kita niatkan untuk beribadah, mencari hikmah, mencari inspirasi ketauhidan. 

Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya (Al-Hadits) 

“Dan apabila diturunkan suatu surat (Al-Qur’an), maka di antara mereka (yang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah keimananya dengan (turunya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah keimananya, dan mereka merasa gembira. Sedangkan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah keingkaran mereka, disamping keingkaraya (yang telah ada), dan mereka mati dalam keadaan ingkar”(Q.S At-Taubah (9) : 124-125) 

Dalam hal penciptaan bumi misalnya, Allah menyebutkan asap panas yang kemudian mendingin membentuk tata surya, planet-planet, juga benda-benda langit lainya. Bumi termasuk didalamnya. Hal-hal mengenai proses perubahan asap panas dalam tinjauan sains, ternyata dapat dideskripsikan lebih detail dengan metodologi-metodologi saintifik, pengkajian mendalam, penelitian, dan aplikasi teori-teori dari para ilmuwan terdahulu. Dalam titik tersebut, ayat Qur’an tidak hanya dogma, melainkan sudah menjadi keyakinan dengan bukti kauniyah yang nyata. Sebagai referensi yang konkret, tengoklah Prof. Abdus Salam. Bahkan beliau menyitir ayat-ayat Qur’an yang menginspirasinya dalam karyanya, ketika memberikan pidato perolehan Nobel. Selengkapnya dapat dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Abdus_Salam

Sebagai penutup tulisan kali ini, kami mengajak rekan-rekan (terutama) mahasiswa untuk sedikit lebih dalam mempelajari ilmu. Sekalipun itu ilmu yang belum pernah menemukan “kecocokan” dengan ayat Qur’an secara empiris, namun kajian yang sedikit lebih dalam akan membuka pintu-pintu hikmah. Tentunya dengan terus meluruskan niat, dipandu ayat Qur’an sebagai sumber filosofisnya. 
Let’s do tafakkur, then tadzakkur

Mengapa mahasiswa? 

Karena ianya sangat dekat dengan lingkungan ilmiah. Fasilitasnya lebih mendukung untuk kajian-kajian saintifik. Tugasnyalah melakukan pencerdasan masyarakat dengan kapasitas ilmu yang selalu ditingkatkanya. Hanya saja perlu ada kemauan, untuk mengkaji sedikit lebih dalam… Ya, sedikit saja. Namun ruti.

Keep Inside Iman! 

Penulis   : Tubagus Naufal Dzaki

No comments:

Post a Comment