Politik dalam kitab Mafahim Siyasah adalah
ri'ayatusy syu'unil ummah, alias pengaturan urusan ummat. Pengaturan urusan ummat yang dimaksud tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), social (ijtima'i), pendidikan (tarbiyah), dsb. Dan menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum, “Politik (siyasah) mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh negara maupun umat. Negara mengurus kepentingan
umat, sementara umat melakukan koreksi terhadap pemerintah."
Dan yang seperti kita ketahui, Islam sebagai ideologi adalah syumul, alias mengatur segala urusan. Mulai dari urusan yang remeh dalam kehidupan kita sehari-hari sampai urusan negara. Sehingga sangat tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa Islam bukan bagian dari ajaran agama Islam. Bahkan bisa dikatakan Islam adalah politik itu sendiri. Perlu bukti?
Dari hasil riset Prof. Dr. Snouck Hurgronje, yang diangkat sebagai Advisieur voor Inlandsche Zaken penjajah Belanda mengakui bahwa ulama dan santri adalah kelompok kecil yang sangat mempengaruhi pandangan politik rakyat dan raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Snouck melihat bahwa Islam adalah agama dan Islam sebagai politik. Ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, yang berbahaya adalah islam alias politiknya. Itu sebabnya, Belanda kemudian menyusun program untuk memisahkan ulama dari politik. Dan upaya depolitisasi Islam tersebut sampai sekarang masih kita rasakan dampaknya. Sebagian besar umat muslim mengartikan Islam hanya sebatas akidah dan ibadah mahdhah. Hanya dibicarakan dan diamalkan di masjid-masjid saja. Tentang politik dan sejenisnya katanya ada bagiannya sendiri, yakni negara.
Maka dakwah yang dilakukan Rasulullah selama 23 tahun bukanlah tanpa maksud. Maka Darul Islam yang Rasulullah bangun di Madinah bukanlah sesuatu yang terjadi secara alami, tapi karena semata-mata syari'at Allah yang memerintahkan untuk berlaku demikian agar masyarakat madani dapat terwujud dan hukum Allah dapat ditegakkan. Adalah mudah bagi Allah untuk menegakkan masyarakat madani tanpa memerlukan jihad, kesabaran dan jerih payah menghadapi segala rintangan dan penderitaan. Akan tetapi, perjuangan berat ini sudah menjadi sunnatullah untuk para hambaNya yang ingin melaksanakan ta'abbud kepadaNya secara sukarela sekaligus untuk membuktikan siapa yang jujur dan siapa yang munafik. Oleh karena itu, Allah mewajibkan umatNya untuk menegakkan syari'at Islam dan masyarakatnya di jalan yang penuh onak dan duri. Selain itu, dalam firman Allah:
"Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi..."(QS. Al-Baqarah:30)
Manusia diciptakan di atas muka bumi ini hanyalah untuk menegakkan negara Allah dan menerapkan hukumNya. Itulah hikmah keberadaan manusia dan makna yang dimaksud dari khilafah yang terdapat dalam ayat di atas. Falsafah negara ini (negara Allah) didasarkan kepada hakikat penghambaan kepada Allah semata, sedangkan sistemnya didasarkan pada suatu keyakinan bahwa kedaulatan hanyalah milik Allah semata karena Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Dan karena syari'at Islam tidak bisa diterapkan secara sempuran kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Jadi, agama pastinya tidak bisa dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Inilah hubungan serasi antara politik (negara) dan agama.
"Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak."
(Ibnu Taimiyah dalam Majmu'ul Fatawa juz 28 hlm.394)
"Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakanlah pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap." (Imam Al-Ghazali dalam al-iqtishad fil I'tiqad hlm.199)
Kita bisa merasakan sendiri bahwa hidup dalam sistem sekuler seperti sekarang benar-benar merana. Ketika agama tidak boleh ikut campur dalam urusan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka banyak orang berbuat sesukanya atas nama kebebasan. Mengumbar aurat, bermesraan dengan lain jenis di tengah keramaian merupakan sesuatu hal yang sudah biasa dan tidak akan ada yang melarang.
Dalam sirah nabawiyah karangan Syaikh Al-Buthy disebutkan bahwa siyasah Rasulullah sebagai siyasah syari'ah atau hukmul imamah yang berarti tindakan Nabi sebagai kepala Negara/imam, bukan sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan risalah.
Siyasah syari'ah digunakan oleh Rasulullah sebagai uslub (cara) dakwah. Hal itu dapat kita lihat dalam strategi dakwah Beliau yang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu sirriyatud dakwah dan jahriyatud dakwah. Masih dalam tahapan jahriyatud dakwah Beliau dan para sahabat hijrah ke Yatsrib yang kemudian bernama Madinah. Hijrah Rasulullah inilah yang kemudian menjadi langkah awal proses terbentuknya Darul Islam yang pertama di muka bumi. Dan pekerjaan pertama yang Beliau lakukan adalah meletakkan asas-asas penting bagi Negara tersebut, seperti:
- Pembangunan masjid
- Mempersaudarakan kaum muslimin anshar dan muhajirin
- Membuat perjanjian yang mengatur kehidupan sesama umat muslim dan hubungannya dengan orang-orang di luar secara umum dan orang Yahudi secara khusus.
Berdasarkan penjelasan di atas sudah membuktikan bahwa Rasulullah adalah seorang politikus. Dan akan lebih nyata lagi
jika kita melihat tindakan-tindakan yang beliau ambil ketika berhadapan dengan kaum kafir saat peperangan maupun saat membuat perjanjian. Sebut saja strategi perang Uhud yang menempatkan pasukan pemanah di atas bukit dan perjanjian Hudaibiyah yang pada awalnya dirasa berat oleh kaum muslimin karena ketidaktahuannya terhadap tabir Illahi. Namun, pada akhirnya membawa banyak keuntungan bagi kaum muslimin.
Dalam berdakwah Rasululah berpegang pada prinsip hikmah (kebijaksanaan) yang telah disyari'atkan berdasarkan pada kemuliaan dan kejujuran baik menyangkut sarana maupun tujuan. Itulah politik Rasulullah. Itulah yang membuat Rasulullah tidak sudi menerima tawaran dari kaum kafir Quraisy untuk menukar dakwah Islam dengan harta, kekuasaan, dan kedudukan. Padahal bukankah akan lebih mudah membentuk masyarakat Islami jika Beliau memiliki kekuasaan dan kedudukan? Tapi apakah kemudian cara ini dapat berpengaruh ke dalam jiwa manusia? Sehingga ketika Rasulullah telah tiada, dengan mudahnya umat akan berbondong-bondong berbelok ke belakang. Maka kemudian inilah yang menjadi pembeda antara dakwah Islam dan dakwah-dakwah kebatilan dan menunjukkan dakwah Rasulullah bersih dari segala kepentingan dan tujuan pribadi.
Rahasia disyariatkannya prinsip hikmah dalam dakwah ialah untuk mengambil jalan dan sarana yang paling efektif agar bisa diterima oleh akal dan pikiran manusia. Dari strategi (politik) dakwah Rasulullah akan terlihat grand design pembentukan masyarakat madani dengan Negara sebagai pelindungnya. Dimulai dari proses tarbiyah dari masing-masing individu, seperti yang sahabat-sahabat Rasulullah lakukan di rumah kediaman Arqam bin Abil Arqam. Kemudian ilmu yang telah didapatkan diajarkan kepada keluarga dan para kerabat serta masyarakat luas. Dan ketika sudah berhijrah ke Madinah dan jumlah kaum muslimin pada saat itu sudah cukup banyak, Rasulullah membangun Darul Islam dengan syari'at Allah sebagai undang-undangnya. Rasulullah terus menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru Jazirah Arab. Baik dengan cara mengutus para sahabat yang telah mempunyai cukup ilmu untuk berdakwah ke wilayah-wilayah yang penduduknya belum memeluk Islam ataupun
memerangi mereka yang tidak mau tunduk kepada sistem dan syari'at Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Inilah kemudian yang kita kenal dengan konsep ummah. Selalu ada sinergisitas antara dakwah horizontal (dakwah secara kultural) dan dakwah vertikal (dakwah secara struktural).
Tugas dakwah Islam bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul, juga bukan hanya tugas khalifah dan ulama yang datang sesudahnya, tapi menjadi tugas semua umat Muslim. Hal ini karena setiap orang yang memeluk Islam berarti telah bai'at kepada Allah dan RasulNya untuk berjihad menegakkan agama (Islam). Maka benarlah, seluruh kaum Muslimin adalah prajurit bagi agama Islam. Allah telah membeli jiwa dan harta mereka dengan harga surga.
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan (balasan) surga bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh atau dibunuh..." (QS. At-Taubah:111)
Sebagai Muslim Negarawan, siapkan diri antum menjadi pemimpin dalam rangka mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Islami!
(Departemen Kastrat, dari berbagai sumber)