John Perkins dalam
bukunya “Confessions of an Economic hit
man” (2004) mengaku, bahwa selama 30 tahun ia menjadi “ekonom pembunuh
bayaran” di NSA (National Security Agency),
AS. Tugas Perkins adalah menganalisa bagaimana cara menghancurkan perekonomian
negara-negara berkembang dan miskin. Salah sau caranya, meminjamkan uang
miliaran dolar kepada negara-negara tertentu sehingga mereka tak mampu
mebayarnya. Jika sudah terjepit baru, negara-negara tersebut diperas
perekonomiannya.
Terbukti, dizaman orde baru, Indonesia mendapatkan
pinjaman yang besar didikte As dari IMF, Bank Dunia, IGGI (CGI), dan lembaga
keuangan barat lainnya. Alhasil peinjaman tersebut malah membelenggu Indonesia
sendiri, karena tak mampu membayarnya. Dari sanalah, lalu masuk konsep
perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi. Dalam kondisi Indonesia yang “tak
mampu bayar hutang”, negara-negara besar menekan Indonesia untuk menjual
aset-aset negara yang “kinclong”. Maka melayaglah aset negara yang strategis di
antaranya Indosat dan perbankan nasional.
Dunia tahu, Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi (subur makmur). Negeri ini bukan
hanya kaya minyak, gas, bauksit, batu bara, emas, perak, perunggu, dan ribuan
barang tambang lainnya, tapi juga melimpah potensi kelautan, pertanian, dan
hutannya. Namun, ironi, di tengah berjibu
(tumpukan) kekayaan sumber daya alam tersebut, rakyat Indonesia masih
menjadi kuli, bahkan hidup melarat di negeri sendiri.
Tahukah kawan-kawan, UUD 45 Pasal 33 yang menyatakan,
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tak ubahnya seperti
kertas yang menawarkan mimpi-mimpi kosong. Negeri ini katanya tanah surga, tak
lebih hanya mitos belaka. Karena, realitasnya, secara ekonomi dan politik,
bangsa ini tunduk dan tak kuasa melawan cengkraman asing dari segala sektor.
Akibatnya rakyat Indonesia tetap miskin.
Menurut pengamat politik, kadep kastrat KAMMI, Ihsan
hidayat, intervensi asing dimulai dari pembentukan perundang-undangan sampai
pada penguasaan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kita ambil sempel,
penyusunan Undang-undang tentang minyak dan gas. Hal ini dibuktikan dengan
adanya dokumen-dokumen semacam radiogram (telex)
dari Washington kepada Kedubes AS di Indonesia pada waktu itu J Stapleon Ray.
Dalam dokumen tersebut tertulis, “Naskah RUU Minyak dan gas diharapkan dikaji
ulang parlemen Indonesia pada bulan januari.” Imbuh Ichsanuddin Noorsy.
Kasus yang sama juga terjadi pada saat pembentukan
Undang-undang kepailitan. Seperti diketahui, yang sangat menekankan UU
Kepailitan pada saat itu adalah IMF dan kreditor asing. Undang-undang Nomor 4
Tahun 1998 pun disusun tanpa pemenrintah dan DR menyadari adanya nuansa
pengamanan pihak asing. Sungguh mencengangkan, begitulah refleksi reaksi
pemerintahan yang terekam dalam sejarah Indonesia pada waktu itu.
Lucunya, permasalahan muncul ketika pihak asing sendiri
yang terkena undang-undang tersebut mengusulkan ratifikasi UU Kepailitan
direvisi. Padahal mereka sendiri yang membuat. Kasus yang menimpa Manulife dan Prudential. Menunjukan,
neo-liberalisasi berbagai sektor strategis di negeri ini disiasati dengan pola
yang sangat sistematis dan rapi.
Ketika masyarakat negeri ini euporia dengan reformasi. Tercatat, berbagai UU primer telah diubah
untuk memenuhi kebutuhan asing. Diantaranya, UU no.22/2001 tentang minyak dan
gas bumi, pembuatannya di biayai oleh USAID dan World Bank sebesar 40 juta dolar AS. UU no.20/2002 tentang
kelistrikan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB sebesar 450 juta dolar AS. UU
no.7/2004 tentang sumber saya air, pembuatannya dibiayai oleh Bank Dunia
sebesar 350 juta.
Intervensi asing rupanya, tidak hanya terjadi pada UU
migas, namun juga pada UU lainnya seperti UU Bank Indonesia, UU Mineral dan
Batubara (Minerba), UU Perkebunan, UU Penanaman modal, sampai UU Penyiaran.
Sehingga rakyat makin terjajah dan miskin, liberalisasi sektor energi ini
dimulai ketika Bapak Pembangunan, Soeharto menyerahkan kedaulatan ekonomi
Indonesia ke tangan IMF dan mulai terlihat di masa pemerintahan Megawati dan
SBY. UU Migas misalnya, dibuat sengaja untuk menguasai sektor energi Indonesia
mulai dari hulu (penetapan harga minyak) hingga ke hilir (pembuatan tabung gas,
saat konversi dari minyak tanah ke gas).
Dikuasai Asing
Di sektor migas,
84 persen produksi (329 blok) yang dimiliki Indonesia kini dikuasai asing.
Indonesia kian tergadaikan bila melihat luas lahan konsesi yang dikuasai asing
untuk migas mencapai 95,45 juta hektar. Luas daratan seluruh Indonesia sendiri
mencapai 192.257.000 hektar, sedangkan luas hutan Indonesia seluas 101.843.486
hektar.
Jika ingin jujur, penyebab kelangkaan BBM adalah akibat
orang tidak punya moral yang menduduki pemerintahan Indonesia. Ujungnya adalah
ditetapkannya UU 22/2001 tentang minyak dan gas bumi yang sangat liberal.
Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengolahan migas. Dalam
UU ini : (1) Pemerintah membuka peluang pengolahan migas karena BUMN Migas
Nasional di privatisasi; (2) Pemerintah memberikan kewenangan kepada pihak
asing maupun domestik untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak; (3)
Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.
Di Indonesia 60 kontraktor migas milik asing, yakni : ExxonMobile (Blok Cepu dan Natura), Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Taxaco (Menguasai cadangan minyak 70%
dan gas 80%), lalu Conoco, Repsol, Shell (Inggris-Belanda),
Unocal (AS), ENI (Italia) Santa Fe, Gulf,
Premier, Lasmo, Inpex dan Japex (menguasai
cadangan minyak 18% dan gas 15%; dan
perudahaan independen (menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%). Aset
Indonesia yang dikuasai asing lainnya adalah Freeport (papua) dan Caltex di
Riau. Hampir 90% minyak dan gas bumi Indonesia telah dikuasai asing. Tatkala
harga minyak mentah dan gas dunia naik, semuanya dijual keluar negeri oleh
perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Sektor lain akibat salah urus pemerintah adalah listrik. Byar-pet-nya (mati hidupnya listrik) PLN
disebabkan oleh kelangkaan pasokan energi primer (batubara dan gas) di
pembangkit-pembangkit yang ada. Krisis listrik dengan segala macam pencitraan
negatif tentang PLN merupakan paket liberalisasi energi ini. PLN terus
dicitrakan negatid dan tidak efisien. Dengan demikian, menurut UU Kelistrikan
No.22/2002, maka arahan PLN akan di swastakan. Perlu diketahui, bahwa harga
minimal sebuah pembangkit listrik adalah RP 5,5 triliun. Dengan harga sebesar
itu, dipastikan yang akan membeli pembangkit tersebut adalah pihak swasta.
Yang tak habis pikir, sektor budidaya mutiara di
Indonesia saat ini didominasi oleh pihak asing (sekitar 90%), terutama
australia dan Jepang.padahal pembudidayaannya relatid gampang. Sedikitnya
pemain lokal mengembangkan budidaya mutiara adalah akibat kendala modal.
Pasalnya, bank-bank enggan memberikan modal kepada investor lokal. Jelas saja,
rakyat Indonesia sendiri sulit mengembangkan usaha di bidang pembudidayaan
kerang Mutiara, karena susah mendapatkan kredit dari perbankan.
Lebih mngejutkan lagi. Data departemen kelautan dan
perikanan (DKP) menyebutkan, tahun 2006 jumlah kapal ikan berbendera asing yang
diizinkan beroperasi di wilayah indonesia terutama Zona Ekonomi Eklusif (ZEE)
sebanyak 712 kapal. Kabarnya, sejak tahun 2005-2007, DDKP secara bertahap
menghentikan izin-izin kapal asing dari negara pilipina, thailand, dan cina di
perairan Indonesia. Bahkan, pemerintah telah mewajibkan perusahaan penangkapan
ikan asing yang beroperasi di Indonesia untuk mendirikan industri pengolahan
ikan di tanah air.
Potensi laut yang tak kalah besarnya
adalah jasa pengangkutan dan pengiriman barang melalui laut (forwarding) dan bisnis pengangkutan
cargo melalui laut (Shipping). Di
sektor ini lagi-lagi para operator kapal cargo Indonesia kalah bersaing dengan
para forwarder asing. Ternyata 46,8%
armada yang wira-wiri di perairan nusantara ini adalah armada asing.
Di dunia perbankan, asingpun
menjerat Indonesia. Menurut riset indef,
per maret 2005, jika bank-bank yang dimiliki asing digabungkan, mereka ternyata
menguasai 42,33 persen aset perbankan nasional. Nilai aset sebesar itu, jauh
melebihi aset-aset bank yang berstatus BUMN. Celakanya, dominasi pihak asing
itu tak hanya dalam jumlah aset perbankan, tetapi juga dalam penghimpunan dana
masyarakat. Bukan main, selisih dana masyarakat antara BUMN dengan pihak asing
selisih Rp 120,53 Triliun. Sebuah jumlah yang cukup besar di tahun 2005.
Bagaimana dengan tahun ini ?
Kebijakan
Privatisasi
Salah satu agenda globalisasi dan
liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank pembangunan Asia
(ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya adalah kebijakan privatisasi.
Tujuan lainnya dalah penjajahan aset-aset negara. Bukan rahasia lagi, kebijakan
privatisasi aset-aset negara Indonesia telah tertuang dalam dokumen milik Bank
dunia yang berjudul : Legal Guidelines
for Privatization Programs.
Dari rezim ke rezim, aset-aset
negara telah diperjualbelikan atas nama liberalisasi perdagangan...!!. masih
segar dalam ingatan ketika Indosat
dijual ke perusahaan singtel singapura. Padahal indosat – perusahaan
telekomunikasi yang punya palapa, satelit kebanggaan bangsa – jelas-jelas sehat
dan menguntungkan. Jika Soekarno hidup, maka KAMMI mengutit pernyataanya ,”
Inilah penjajahan gaya baru, neokolonialisme, yang harus dienyahkan dari bumi
Pertiwi.”
Privatisasi (penjualan) BUMN di
Indonesia telah dilakukan sejak rezim orde baru. Pemerintah menjual 35% sahan
PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT. Indosat (1994), 35% saham PT.Tambang
Timah (1995) dan 23% saham PT.Telkom, 25% saham PT.BNI (1996) dan 35% saham
PT.Aneka Tambang (1997). Kebijakan privatisasi pada masa orde baru dilakukan
untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya
terus membengkak.
Pada tahun, 1998, rezim soeharto
kembali menjual 14% saham PT. Semen Gresik pada perusahaan asing, cemex; 9,62%
saham PT.Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor hongkong; dan 49%
sahan PT.Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 pemerintah lagi-lagi
menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan
11,9% saham PT.Telkom.
Sangat mencengangkan. Bagaimana
mungkin soeharto mendapatkan gelar “bapak pembangunan” yang notabenya akar
liberalisme sektor ekonomi di Indonesia akibat dari keroposnya pemerintahan
beliau. Hingga saat ini, akar-akar menjerat leher calon pemimpin indonesia,
bukan hanya itu. Bahkan, pemikiran kitapun sudah tercengkram oleh
neo-liberalisme bawaan barat.
Sejak ekonomi Indonesia berada
dibawah pengawasan IMF, indonesia di tekan untuk melakukan reformasi ekonomi –
program penyesuaian struktural – yang didasarkan kepada kapitalisme-Neoliberal
Reformasi tersebut meliputi : (1) Campur tangan pemerintah harus hilang; (2)
penyerahan perekonomian indonesia pada swasta; (3) liberalisasi seluruh
kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4)
memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih
besar.
Dalam program privatisasi, mantan mentri
BUMN saat dia menjabat, Sofyan Djalil pernah beralasan, “Privatisasi BUMN
dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memperdayakan BUMN,
sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan Dinamis.” Kenyataannya privatisasi
tidak seperti yang digambarkan pemerintah, yaitu bertujuan untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Pasalnya, yang dimaksud
masyarakat disini adalah \masyarakat khusus, yakni mereka yang punya uang
(investor).
Privatisasi
terjadi karena pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam megolah negara. Tidak
aneh, setiap tahun pemerintah hanya dapat menjual aset negara dengan frontal.
Akibatnya, kekayaan negara terus menyusut, otomatis menyusut pula lahan pangan
untuk rakyatnya.
Pada tahun 2007, mantan wapres Jusuf
Kalla mengemukakan bahwa dari 135 BUMN yang dimiliki pemerintah, jumlahnya
diciutkan menjadi 69 di tahu 2009, dan 25 BUMN pada tahun 2015. Artinya,
sebagian BUMN yang strategis akan dijual ke pihak swasta/asing. Bisa jadi,
dimasa kita menjadi pemimpin bangsa atau umat, negara ini tidak punya BUMN 1
pun, bisa dibilang, Indonesia hanya punya lahan, tapi tak bisa diolah sendiri.
PENJAJAHAN !!!!
Indonesian
Corruption Wacth (ICW) membeberkan, bahwa privatisasi
BUMN menjelang Pemilu sangat terkait dengan penggalian dana parpol. ICW
mensinyalir, dalam rencana privatisasi BUMN tersebut terdapat agenda untuk
mengumpulkan dana dalam rangka Pemilu
2009. Tak bisa dipungkiri, BUMN bukan hanya bendahara negara saja, tetapi juga
Bendahara Parpol yang berkuasa (Demokrat,PDIP,Golkar). Boleh jadi inilah yang
mengakibatkan sejumlah parpol menunda-nunda pelaporan dana kampanye plus
rekening ke KPU. Jangan-jangan ada aliran yang tak sehat.
KAMMI berkomitmen untuk terus memantau
dan mengarahkan setiap kebijkan-kebijkan pemerintah yang tidak pro rakyat dan
pro syari’ah. Bagaimana mungkin, Indonesia penduduk yang mayoritas muslim, mau
diterapka UU Pernikahan sesama jenis ? atau UU kesetaraan gender yang
didengungkan oleh orang-orang yang tidak tahu dampak kedepan. Hanya berpikir
sesaat, tanpa harapan perbaikan. Yang terbaru RUU-PT, neoliberalisme dalam segi
PENDIDIKAN !!!!!!. masihkan kita tinggal diam ??? jika pendidikan para tunas
bangsa dipertaruhkan,??
Lebih dekat, Lebih bersahabat bersama
KAMMI.
Sumber :
1. Undang
Undang Dasar 1945
2. Adhes
Satria.Cengkaraman asing di negeri
sendiri.