Secara historis PDI Perjuangan merupakan partai
yang mengambil ide-ide perjuanganya dari pemikiran-pemikiran Bung Karno yang
dituangkan dalam pidato lahirnya
Pancasila 1 Juni 1945 dan trisakti. Oleh karenanya dalam mewujudkan cita-cita
proklamasi, salah satu strategi yang dimiliki PDIP adalah dengan menjamin sebanyak-banyaknya rakyat terlibat
dalam kegiatan ekonomi produktif, mendorong akses masyarakat terhadap
permodalan, informasi dan pasar sesuai, strategi ini sesuai dengan pemikiran
Bung Karno. Dan karena strategi ini pula yang membuat PDIP berani menyematkan
julukan “Partai Wong Cilik”, karena komitmennya untuk melindungi rakyat kecil.
Setelah terkekang selama orde baru, di era
reformasi PDIP menjelma menjadi partai pemenang dalam kancah perpolitikan
Indonesia. Pemilu pertama tahun 1999 berhasil dimenangkan oleh PDIP dan
menghantarkan ketua umum partai ini, Megawati Soekarno Putri naik ke kursi
Presiden. Walaupun sempat mengalami penurunan jumlah suara di tahun 2004 dan
2009, kini PDIP kembali berhasil merebut hati rakyat Indonesia di pemilu 2014.
Tentu saja bersama kemenangan tersebut, terselip harapan dari jutaan rakyat
Indonesia kepada Partai ini agar dapat membawa bangsa ini kepada cita-cita
kemerdekaannya lewat ideologi partai yang PDIP tawarkan. Kemenangan PDIP di
pemilu lalu memang menjadi harapan bagi banyak orang. Figur Jokowi yang berbeda
dengan politikus kebanyakan dan sangat sesuai dengan image partai
sebagai partai wong cilik, menjadikan partai
ini mendapat kepercayaan dari rakyat untuk periode 5 tahun ke depan. Tentu kita
menanti-nantikan terobosan apa yang akan dilakukan PDIP setelah berada di kursi
pemerintahan. Rakyat kecil terutama menjadi pihak yang banyak berharap, karena golongan inilah yang banyak mendapatkan janji politik selama kampanye. Namun
apakah kinerja partai tersebut telah sesuai dengan apa yang diharapkan?
Memang masih terlalu cepat menilai kinerja PDIP
di pemerintahan, karena belum genap 2 tahun sejak kemenangannya. Namun saya
kira untuk sekedar mengingatkan agar partai ini kembali pada relnya tentu bukan
hal yang salah, justru ini waktu yang tepat sebelum kereta tersebut sudah
terlalu jauh keluar jalurnya sehingga sulit bagi sang masinis untuk mengembalikannya.
Dalam keberjalanannya, saya melihat ada beberapa
kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi (yang merupakan petugas partai) saat ini
yang kontraproduktif terhadap ideologi PDIP. Sebut saja dalam bidang ekonomi.
Pemerintah Jokowi gencar sekali mendorong penanaman modal asing ke dalam negeri
dan juga penambahan utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini
bertentangan dengan strategi partai yang seharusnya mengutamakan masyarakat
(asli Indonesia) agar memiliki akses terhadap permodalan. Memang akan terjadi
percepatan ekonomi, namun sayangnya bukan sekedar percepatan ekonomi saja yang
ditawarkan partai ini. Kapital dalam negeri merupakan prioritas yang seharusnya
didorong bukan sebaliknya. Dengan adanya kebijakan penggenjotan investor luar
negeri akan berdampak buruk pada pengusaha dalam negeri. Karena tanpa
perencanaan yang matang, penanaman modal asing hanya akan membuat pengusaha
dalam negeri dengan modal yang kecil tentu akan kalah bersaing. Hal ini tidak
masalah jika PDIP merupakan partai dengan ideologi demokrasi liberal, namun “sayangnya”
dalam AD ART partai sudah sangat jelas dikatakan partai ini adalah partai
berideologi demokrasi Pancasila, artinya ada nilai-nilai Pancasila yang
membatasi. Dalam hal modal, artinya
penanaman modal bukan semata-mata untuk menghasilkan rupiah buat si penanam
modal, tetapi lebih kepada terciptanya keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Aset Bangsa, Untuk Bangsa
Berbicara soal aset bangsa, tentu kita semua
setuju bahwa seharusnya aset-aset tersebut dinasionaliasi. 350 tahun Belanda
menjajah bangsa ini, maka selama itu pula ekonomi kita bocor, karena seluruh
sumber daya alam Indonesia, gula kita, karet kita, kapas kita dan batu baranya
hanya digunakan untuk mengamankan ekonomi negeri di laut utara itu. Walaupun di
akhir-akhir masa imperealisme, Belanda banyak melakukan industrialisasi di Jawa
dan Sumatra, tetap saja modalnya merupakan modal asing, dan keuntungannya untuk
asing. Tidak banyak pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia (Hindia Belanda
ketika itu). Maka di zaman awal kemerdekaan, Presiden Soekarno getol
menasionaliasi banyak aset asing di negeri ini agar dapat digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebelum akhirnya langkahnya pun dijegal oleh
antek asing yang tidak rido sumber pendapatannya diambil. Naiknya PDIP
(partai yang mengusung pemikiran Soekarno) ke dalam tampuk kekuasaan tentu
meberikan harapan pada rakyat agar PDIP bisa meneruskan langkah Presiden Soekarno
yang tertunda itu. Namun kenyataan di
lapangan adalah banyak aset bangsa yang dijual ke asing. UU larangan ekspor
mineral mentah yang dibuat di zaman SBY yang cukup menyulitkan salah satu
tambang emas terbesar di dunia di ujung timur negeri ini, di era Jokowi malah
diberi perpanjangan agar perusahaan itu tetap bisa ekspor mineral mentah lebih
lama. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi kita, sebenarnya strategi apa
yang sedang dijalankan PDIP?
Utang Luar Negeri
Di era pemerintahan Jokowi, kebijakan utang
luar negeri juga menjadi sorotan. Terutama dalam kasus utang terhadap China. Hanya
dalam kurun waktu satu tahun ketika Presiden Jokowi menjabat, utang luar negeri
Indonesia ke China mengalami peningkatan sebesar 59,61 persen. Sementara utang
luar negeri ke kreditor lain seperti Jepang, Singapura, AS dan Belanda
mengalami penurunan di waktu yang bersamaan. Sebenarnya sudah banyak sekali
ahli yang mengkritik kebijakan ini, selain karena banyaknya persayaratan aneh
seperti keharusan menggunakan buruh kasar dari China (yang juga bertentangan
dengan Undang-Undang), di sisi lain utang dari China memiliki bunga yang cukup
tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman dari Jepang atau negara lainnya.
Pemerintah memiliki alasan, karena saat ini hanya China yang mampu memberikan
pinjaman sebesar itu. Sebuah alasan yang menurut saya tetap tidak bisa diterima.
Seharusnya sikap China yang berani memberikan pinjaman besar ke banyak negara
berkembang di Asia maupun Afrika menjadikan kita bertanya ada agenda apa
dibalik itu.
Sebuah studi gabungan oleh
Rhodium Group dan MERICS menyatakan investasi China kini menjadi agenda utama
dalam berbagai pertemuan diplomatik negara itu. Ini dikarenakan China perlu
menanggulangi dampak negatif karena anjloknya permintaan barang dari luar China
dan meningkatnya surplus barang-barang produksi China. China yang kini menjelma
menjadi raksasa industri dunia mulai menemui tembok penghalangnya yang ia buat
sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang terlampau cepat membuat negara ini
kelimpungan sendiri. Kini barang-barang hasil produksi China banyak menumpuk di
gudang, karena produksinya yang terlampau tinggi sementara ia tidak punya
daerah pemasaran yang cukup. Ekonomi dunia yang melemah membuat permasalahan
ini menjadi bertambah-tambah. Hal inilah yang membuat China perlu untuk
“membantu” negara-negara berkembang dengan pinjaman luar negerinya agar
negara-negara tersebut bisa membangun negeranya menjadi pasar produk-produk
China. Salah satunya adalah Indonesia. Sekali lagi kebijakan ini berseberangan
dengan ideologi PDIP. Dalam tri sakti yang disampaikan Bung Karno sudah sangat
jelas bangsa ini harus berdikari secara ekonomi. Bukan memberikan jalan pada
bangsa lain menjadikan bangsa ini menjadi tidak lebih dari sebuah pasar.
Politik Ibu Kota
Yang terbaru yang juga membuat saya heran
adalah sikap partai ini dalam Pilkada DKI yang mendukung calon petahana yakni
Ahok. Padahal sudah sangat gamblang cara Ahok dalam memerintah tidak sesuai
dengan identitas PDIP sebagai partainya wong cilik. Ahok dalam pendekatannya
sangat tegas terhadap siapapun, dan kurang dalam hal pendekatan kekeluargaan.
Yang sangat kentara adalah kebijakannya dalam menggusur permukiman penduduk menengah
ke bawah yang tidak sesuai dengan peraturan. Di sisi lain Ahok dinilai lebih
membela para pengusaha, seperti pada kasus reklamasi ia ngotot membela pihak
pengembang untuk melanjutkan proyek yang dihentikan oleh 3 menteri. Gaya
kepemimpinan Ahok yang lebih dekat kepada kelompok Kapitalis tentu tak cocok
jika disandingkan dengan PDIP yang justru menentang Kapitalisme itu sendiri.
Perlu ditekankan bahwa saya tidak menyalahkan cara Ahok dalam memimpin karena
itu juga salah satu ijtihad politik bagi Ahok, karena toh dengan cara seperti
itu Singapura juga bisa maju (walaupun bukan kemajuan seperti itu yang kita
harapkan bagi Indonesia). Tetapi beda halnya ketika PDIP yang sudah menisbatkan
dirinya sebagai partai wong cilik, punya banyak kader yang potensial tetapi
berujung dengan dukungan terhadap ahok. Ini seperti membuang ideologi yang
selama ini dijunjung oleh PDIP.
JAS MERAH
Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau
disingkat "Jasmerah" adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan
oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT)
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Tentu sebagai sebuah bangsa yang
ingin maju kita juga tidak bisa melepaskan sejarah. Baik sejarah nasional,
regional maupun global agar langkah kita ke depan mantap dan tidak terjatuh ke
dalam lubang yang sama.
Salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, Tan
Malaka pernah mengatakan bahwa ada beberapa jenis imperialisme di dunia ini. Di
antaranya adalah imperialisme biadab, imperialisme autokratis, imperialisme setengah
liberal dan imperialisme liberal. Dua yang disebutkan di awal telah kita alami
pada masa penjajahan Belanda. Sementara imperialisme setengah liberal dan
liberal dilakukan oleh Inggris di daerah-daerah jajahannya dan juga Amerika di
Filipina. Perbedaan jenis imperialisme ini bukan bergantung pada keadaan bangsa
yang dijajah melainkan bergantung pada keadaan penjajahnya. Ketika Belanda
menjajah Indonesia, negeri itu bukanlah negeri industri melainkan hanya negeri
petani dan para saudagar. Karenanya aktivitas perekonomiannya lebih banyak di
jasa dan perdagangan. Karena itu lah pola imperialisme Belanda di Indonesia
cenderung autokratis, ia hanya menyedot sebesar-besar kekayaan alam Indonesia
untuk dihamburkan di negerinya tanpa perlu menciptakan basis perekonomian
Indonesia sedikitpun.
Berbeda halnya dengan Inggris yang telah mengalami
revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell. Kapitalisme Inggris telah mantap,
dan ia telah bermetamorfosis menjadi negara industri. Sebagai negeri industri
yang memiliki surplus produksi yang besar Inggris membutuhkan pasar-pasar. Oleh
karena itu Inggris terpaksa membangun daerah koloninya, agar siap menjadi pasar
bagi produk-produknya. Ia membangun sekolah-sekolah, firma, maskapai baik impor
maupun ekspor dalam perdagangan. Maka itu kita kadang berceloteh “kok negara
yang dijajah Inggris maju ya?” mungkin ini lah yang menjadi jawabannya.
Setelah membangun infrastruktur daerah
koloninya, permasalahan selanjutnya yang dihadapi Inggris adalah perlu adanya
orang-orang terdidik yakni para saudagar di wilayah koloninya yang nantinya
bisa mengendalikan ekonomi wilayah tersebut dan menjadi perantara agar
produk-produk Inggris dapat masuk dengan lancar. Maka dibangunlah
sekolah-sekolah tinggi di seantero daerah koloni Inggris untuk menyiapkan
kelompok orang-orang tersebut.
Jika dibandingkan dengan kondisi Indonesia
China saat ini, maka kita akan mendapati kondisi yang mirip. Walaupun tidak
dalam semua hal. Namun tetap menjadikan kita perlu waspada. Dan ini pula yang
menjadikan alarm untuk PDIP agar tidak jauh keluar relnya. Semoga
kebijakan-kebijakan PDIP dan khususnya pemerintahan Presiden Jokowi saat ini
bukanlah untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar baru bagi China. Semoga pula kebijakan
mendukung Ahok yang cenderung dekat kepada kelompok kapitalis bukan dalam
rangka menyiapkan kelompok perantara China-Indonesia agar memuluskan proyek pasarisasi
Indonesia.
Akhir kata, Merdeka!
Muhammad Iqna Syarhuddin
Ketua PK KAMMI Teknik Undip 2015
0 komentar:
Post a Comment