"Bebaskan Muslim Rohingya!"
"Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa!"
"Boikot SEA Games berikutnya yang dilaksanakan di Myanmar!"
Orasi-orasi para demonstran yang disiarkan di televisi pagi ini. Ummi yang sedang mengunyah nasi gorengnya sebagai sarapan menatap layar kaca itu nyaris tanpa kedip. Terhampar di meja makan, koran hari ini yang baru saja diantar sang loper, headline tentang penderitaan Muslim Rohingya.
Beberapa waktu belakangan ini memang sedang gempar berita tentang penindasan terhadap Muslim Rohingya di Arakan, karena tak diakuinya mereka sebagai warga negara Myanmar. Ummi sih sebetulnya cuma sesekali membaca berita tentang itu via internet, tapi bacaan yang sedikit itu membuatnya ingin melakukan sesuatu untuk saudaranya itu.
Terlintas di benaknya, bagaimana kalau mengadakan aksi? Tapi diizinkan pihak sekolah tidak, ya?
Maka pada istirahat pertama, Ummi menemui Hanif, wakil ketua sekaligus koordinator akhwat Rohis SMA-nya.
"Kita jangan bisa diam saja melihat saudara kita dibantai seperti itu!" serunya berapi-api. Tak peduli bahwa mereka sedang berada di depan pintu mushola yang dipadati siswa yang baru saja selesai Dhuha. "Beruntung kita di sini masih bisa shalat Dhuha, gimana dengan mereka yang di sana? Shalat wajib saja susahnya minta ampun!"
Hanif mendengarkannya sambil lalu. Dalam hatinya, dia juga menginginkan ada gebrakan yang dilakukan Rohis untuk menunjukkan kepedulian pada muslim di sana. Tapi apa?
"Jadi kamu pengin kita bikin kayak istighasah, gitu?" tanya Hanif.
"Gak cuma itu. Kita harus turun ke jalan!"
"What?" Mulut Hanif membulat sempurna.
"Kok kaget?"
"Yang bener aja? Aksi? Sejarah baru tuh, seumur-umur belum ada sekolah di kabupaten ini yang siswanya turun aksi."
"Makanya kita bikin sejarah!"
Hanif tertawa. "Aku sih juga seneng banget kalau kita bisa aksi. Tapi, emang boleh sama pihak sekolah?"
"Yee, makanya aku ngomong sama kamu, Ibu Waketu. Biar kamu yang ngelobi Pak Rochmad."
"Ntar aku bicarakan sama Recky dulu deh ya. Kalau dia setuju, kita bisa ngomong ke Pak Rochmad. Kalau disetujui, kita baru mengerahkan massa. Gimana, Bu Sekre?" Hanif gantian memanggil Ummi dengan jabatannya.
Untuk sementara, semangat Ummi yang berapi-api tertahan oleh bel tanda istirahat selesai.
Tanpa buang tempo, sebelum guru pelajaran berikutnya masuk, Hanif menghubungi Recky, ketua Rohis mereka. Recky sih dengan cueknya menyerahkan semua urusannya pada Hanif, jadilah sepulang sekolah, Ummi menemani Hanif menghadap Pak Rochmad, sang Wakasek Bidang Kesiswaan.
"Oh, boleh. Tapi saya belum tahu, boleh aksi di jalan raya, nggak. Soalnya itu kan jalan negara. Kalau kalian pakai jalan di belakang sekolah yang lebih kecil, mungkin masih boleh. Keliling aja di jalan itu, yang sekaligus melewati Rumah Dinas Bupati," enteng sekali jawaban Pak Rochmad.
Hati kedua siswi itu melonjak gembira.
"Teknisnya gimana?" lanjut Pak Rochmad.
"Belum kita bicarakan sih, Pak," Hanif yang menjawab. "Saya mau izin dulu sama Pak Rochmad, kalau diizinkan, baru nanti Rohis yang mengerahkan massa."
"Yang mau orasi siapa emang?"
"Ehm... Kalau itu, kayaknya Ummi bisa, Pak," sahut Hanif, mengernyit kesakitan saat Ummi menendang kakinya di bawah meja.
Meskipun begitu, malamnya Ummi membuat kliping dari koran langganannya. Takut kalau kata-kata Hanif tadi ternyata sungguhan. Jadi, itung-itung persiapan orasi lah.
Muslim Rohingya, atau oleh orang Myanmar disebut “Bengali”, tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas. Menurut pemerintah Myanmar, orang Rohingya adalah warga Bangladesh sehingga harus dipulangkan ke negara tersebut. Namun, pemerintah Bangladesh malah justru merepatriasi warga Rohingya karena tidak mengakui mereka sebagai warga negara. Tidak ayal, Rohingya terus menjadi korban diskriminasi.
... kekejian itu dilakukan oleh oknum Buddha yang tidak menyukai keberadaan Muslim di wilayah utara negara tersebut...
... dibantu militer, sweeping tersebut hanya menargetkan etnis Muslim Rohingya. Mereka, terang Rofiq, menggeledah setiap rumah, merampas perhiasan dan harta benda, serta kebutuhan pangan lainnya...
... aksi mutilasi organ tubuh juga dilakukan...
... pembakaran rumah ibadah, dan pengosongan pemukiman agar bersih dari etnis Muslim Rohingya...
* * *
Esoknya, Hanif dan Ummi dipanggil untuk menemui Pak Rochmad di ruangannya.
"Gimana rencana aksi kalian, jadi?" tanya Pak Rochmad setelah berbasa-basi sejenak.
"Belum sempat dibahas lagi, Pak," jawab Hanif. "Tapi saya juga sudah ngobrol sama beberapa anak Rohis."
"Yah, sebetulnya gini..." Pak Rochmad berdeham. "Setelah saya diskusi dengan Guru Agama, beliau bilang, sebaiknya kasus Rohingya ini dipikir masak-masak, jangan sekadar emosional saja."
"Maksudnya gimana, Pak?"
"Kata Pak Bambang, guru Agama, kejadian di Rohingya itu tidak seheboh yang diduga. Bahkan menurut SBY, Sebenarnya itu hanya masalah antar-etnis saja di sana, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah Myanmar, apalagi sampai ada genosida segala. Hoax itu."
Penjelasan Pak Rochmad membuat dahi Hanif dan Ummi mengerut. Lah, kemarin siapa yang malah mengusulkan teknis aksi? Kenapa sekarang malah berbalik opini begini?
"Tapi, Pak, bukankah di berita-berita juga sudah disebutkan..." Hanif mencoba membantah.
"Memangnya kalian sudah pernah ketemu langsung sama orang Rohingya?" sela Pak Rochmad.
Hanif diam saja.
"Berita itu belum tentu akurat. Percaya saja sama SBY. Orang presiden RI saja sudah menyatakan tidak ada genosida, kenapa kita malah ribut-ribut soal itu? Mending bantuin saja daerah-daerah di Indonesia yang kena bencana alam, daripada ngurusin negara luar sana yang belum jelas kebenarannya."
Ummi sudah siap membantah. Kalau berita saja dibilang belum tentu akurat, pernyataan SBY juga lewat berita, kan? Tentunya itu belum pasti akurat juga, kan? Apalagi lebih banyak berita yang membeberkan diskriminasi dan penderitaan Muslim Rohingya daripada pernyataan hoax kasus tersebut. Lagipula, kalau PM Turki yang jauh di sana saja sudah melihat langsung fakta di Myanmar, kenapa Presiden Indonesia yang dekat begini malah kalem-kalem saja? Harusnya Indonesia dong yang jadi pionir pembela sesama muslim di sana?
Hanif melihat raut wajah Ummi yang seperti siap menerkam. Tahu kebiasaan kawannya yang emosional itu, dia menggenggam tangan Ummi tanpa terlihat oleh Pak Rochmad, berusaha memenangkannya. Ummi mengerti makna genggaman itu, dan dengan jengkel mengalihkan pandangan ke mana saja untuk mengalihkan emosinya.
Komentar Pak Rochmad selanjutnya bahkan tidak didengarnya. Apa pun, baginya intinya sama saja. Tentu saja Pak Rochmad lebih mempercayai Pak Bambang, hanya karena posisinya sebagai guru Agama Islam di sini, jadi dianggap paling mumpuni dalam bidang agama. Padahal, Ummi tahu persis, komentar Pak Bambang selalu sinis terhadap pemahaman semacam ini, yang menurut beliau ekstrem. Tapi Ummi pun diam saja, sebab dia pun menyadari, salah langkah sedikit saja, Rohis bisa dianggap ekstrem, bisa-bisa dibekukan seperti kejadian beberapa tahun silam.
Sebagai ekspresi "balas dendam", Ummi pun memprovokasi Hanif dan pengurus inti Rohis lainnya untuk mengadakan saja penggalangan dana dalam lingkup internal sekolah. Dalam hal ini, Hanif setuju, begitu pula Recky. Akhirnya mereka pun dibagi menjadi beberapa tim, sebagian mengurus perizinan, sebagian bertugas keliling kelas untuk menggalang dana.
Entah bagaimana prosesnya, tim perizinan menyampaikan ada lampu hijau dari Pak Bambang yang juga sebagai pembina Rohis. Meski begitu, rupanya Pak Bambang belum mengoordinasikan guru lain terkait rencana ini. Di beberapa kelas yang mereka masuki, para guru menanyakan surat izin untuk kegiatan ini. Tim keliling ini kelabakan, karena tim perizinan sama sekali tidak mengatakan tentang surat izin!
Ternyata tim perizinan hanya mendapat persetujuan Pak Bambang lewat lisan. Ummi pun membuatkan surat izin yang ditandatangani Pak Bambang, dan setelah melihat tanda tangan itu, Pak Rochmad pun bersedia menandatanganinya.
Sepulang sekolah, mereka semua berkumpul di sekretariat Rohis. Mana lagi kalau bukan mushola? Semuanya menghitung jumlah uang yang berhasil mereka kumpulkan.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka nyeletuk, "Mi, ngomong-ngomong, ini dana sebanyak ini mau disalurkan lewat mana?"
Ummi sendiri terperangah. Baru ingat, dia bahkan belum berpikir ke sana!
==============================================================
Nah, buat teman-teman yang ingin menyalurkan bantuan dana untuk Muslim Rohingya, tapi bingung mau disalurkan lewat mana, KAMMI Teknik Undip menerima bantuan dana dari teman-teman untuk mereka.
Caranya?
Tinggal hubungi Akh Ihsan (085693113381) atau Akh Eko (085664503782).
Kasusnya udah basi?
Hmm... Media boleh saja berhenti memberitakannya, tapi penderitaan mereka sama sekali belum berhenti.
Bantuan dana dan doa teman-teman masih sangat dibutuhkan. ^_^
Sumber berita:
http://www.dakwatuna.com/2012/08/22180/hidayat-nur-wahid-ke-myanmar-bahas-rohingya/#ixzz24jYRdGL0
http://www.republika.co.id/berita/internasional/tragedi-rohingya/12/08/04/m88o7j-inilah-pengakuan-seorang-muslim-rohingya
http://video.tvonenews.tv/arsip/view/59841/2012/08/05/sby_tidak_ada_indikasi_pembantaian_etnis_di_myanmar.tvOne
0 komentar:
Post a Comment