Jadilah Kader yang Muta'awin

                                                                                  Oleh: Muhammad Qasim Saguni
   

 Tidak sedikit anggota yang berada dalam sebuah lembaga dakwah keberadaannya tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini barangkali ungkapan halus dari keberadaan anggota yang hanya sebatas catatan administrasi belaka. Bahkan, tidak jarang hanya ‘membebani’ lembaga. Padahal salah satu kualifikasi yang diinginkan dari kader adalah lahirnya kader yang muta’awin. Kader muta’awin yaitu kader yang siap terlibar dalam kerja-kerja dakwah.
    Persoalan ini mendesak selalu ditekankan. Karena tidak sedikit dari kader-kader dakwah yang namanya hanya tertulis sebagai anggota atau merasa cukup dengan berafiliasi dengan sebuah lembaga dakwah tanpa mau terlibat lebih jauh atau bahkan berkontribusi dalam kerja dakwah perjuangan. Ini masalah besar bagi harakah dakwah. Jika ini terjadi, jelas ini indikasi tidak tercapainya tujuan-tujuan pengkaderan secara maksimal.
1.    Menyadari Pentingnya Amal Jama’i
Urgensi amal jama’i adalah mereka harus sadar sejak dini dan tahu bawa berkah dan pertolongan Allah ada pada amal-amal Jama’i. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Tangan Allah ada di atas tangan-tangan mereka.” Juga dalam hadits, “Tangan Allah ada pada jama’ah.”
Kalau Allah ingin, Rasulullah bisa berjuang dan berdakwah sendiri tanpa harus melibatkan orang lain. Allah sanggup memenangkan agamaNya tanpa cucuran keringat dan darah sang Rasul dan sahabatnya. Allah sanggup membalikkan hati musuh-musuh dakwah sejak periode dan langsung beriman pada RasulNya, tanpa harus mencaci maki, mengejek bahkan memerangi Rasulullah. Allah sangat sanggup untuk itu. Tapi itu tidak terjadi, supaya Rasulullah dapt menjadi contoh bagi ummatnya disetiap zaman bahwa memperjuangkan agama ini dibutuhkan keterlibatan banyak orang. Dan agar setiap orang beriman punya saham dalam perjuangan.
Semangat amal Jama’i ini bisa kita lihat menjelang perang khandaq. Saat Rasulullah dan para sahabat, semuanya turun menggali parit padahal saat itu mereka semua dalam keadaan lapar. Salah seorang diantara mereka memperlihatkan kepada Rasulullah perutnya yang diganjal sebuah batu. Namun beliau justru memperlihatkan perut beliau yang diganjal dengan dua buah batu. Sangat Nampak di sana ada kebersamaan, kekompakan, solidaritas yang dibangun di atas cinta kepada Allah dan RasulNya dalam bentuk amal jama’i.
2.    Merasa mulia dengan Keterlibatan
Kerja-kerja dakwah adalah syarf (kemuliaan). Sebab kerja-kerja dakwah adalah kerja memperjuangkan dan menjayakan agama Allah. Kerja-kerja ini adalah wazhifatul anbiyaa’ warrusul (kerja utama para nabi dan rasul). Bahkan Allah membari jaminan bagi siapa yang menolong agamaNya bahwa pasti ia akan ditolong oleh Allah. Ini perlu ditekankan sebab ada semacam kekhawatiran yang ditiupkan oleh syaithan kepada mereka yang menceburkan diri dalam kegiatan dakwah. Allah Ta’ala berfirman, “jika kalian menolong agama Allah maka Allah akan menolongmu.”
3.    Pandai Memposisikan Diri
Para kader harus selalu menanamkan dalam dirinya bahwa ia seperti seorang prajurit yang selalu menunggu komando dari pimpinannya. Apapun jenis perintah itu, selama itu tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah maka syiar seorang muta’awin adalah sam’an wa tha’atan (dengar dan taat).
Tentu kita masih ingat bagaimana sikap yang diambil oleh Khalid bin Walid saat ia harus beralih posisi dari seorang panglima perang menjadi prajurit biasa. Karena penggantian ini adalah titah panglima rtertinggi, Umar bin Khatthab, maka ia menerima perintah itu dengan lapang dada dan memposisikan dirinya sebagai prajurit biasa. Padahal shahabat yang dijuluki Saifullah al-Maslul ini selallu tampil cemerlang di medan jihad dan meraih kegemilangan setiap ia memimpun pasukan.
Kepandaian memposisikan diri dalam sebuah kerja-kerja jama’ah adalah salah satu di antara buah keikhlasan. Keikhlasan selalu menyadarkan pemiliknya bahwa apa yang ia kerjakan, apapun posisinya, adalah dalam rangka menjayakan agama Allah. Amanah yang ia pedang tidak ditujukan untuk membesarkan dirinya dan mendongkrak pribadinya menjadi orang hebat, tapi dalam rangka beribadah kepada Allah. Karena itu jika pimpinan memintanya menggeser posisi atau amanah yang lain, sela ia sanggup, maka tidak ada pilihan kecuali harus ditaati.
4.    Mampu memberi
Yang kita maksud di sini adalah bagaimana agar setiap kader mampi memberi kontribusi dalam kerja-kerja menjayakan agama Allah. Kontribusi yang diberikan oleh kader sesuai dengan apa yang ia miliki. Bisa dalam bentuk pemikiran dan ide-ide cemerlang, kemampuan manajerial, profesionalisme atau dukungan finansial dan lain-lain.
Setiap kader diharapkan bisa mengenal dengan baik di mana titik kelebihannya sehingga ia bisa segera mendistribusikan kelebihan itu untuk dakwah dan perjuangan. Sebab kemampuan kita terbatas. Kita tidak bisa memberi segalanya dan tidak akan pernah sanggup memberi segalanya. Maka hendaknya setiap kader segera memastikan di mana letak keunggulannya yang dengan itu ia bekerja dengan fokus berjuang untuk ummat ini.
Lihatlah para sahabat Rasulullah. Mereka semua sanggup memberi kontribusi dalam perjuangan. Abu Bakar as-Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Shuhaib ar-Rumi menyumbangkan harta mereka. Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, Ibn Masud, Zaid bin Tsabit memaninkan peran sebagai ulama yang mumpuni. Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, Sa;ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah ibn Jarrah memainkan peran sebagai panglima dan penakluk yang ulung. Bahkan mereka yang termasuk berudzurpun memainkan peran yang tidak kalah pentingnya seperti Abdullah bin Ummi Maktum yang mengganti Rasulullah menjadi imam shalat setiap beliau dan para shahabat meninggalkan kota Madinah.
5.    Mampu bekerja dalam sebuah tim
Usamah bin Zsid masih sangat muda saat ia ditunjuk Rasulullah menjadi panglima perang dalam menghadapi pasukan Romawi. Ia sadar betul bahwa di bawahnnya ada banyak sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan yang lainnya sehingga beliau merasa segan menerima amanah itu. Pasukan ini urung diberangkatkan karena Rasulullah wafat.
Saat Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah menggantikan beliau, ia merasa berkewajiban melanjutkan misi penyerangan ini.  Jelang pemberangkatan, Usamah bin Zaid meminta pada Abu Bakar agar ia berposisi sebagai prajurit biasa saja, bukan sebagai komandan. Namun usul ini ditolah oleh Abu Bakar dengan perkataannya yang terkenal, “berangkatlah engkau wahai Usamah, sungguh pada pasukanmu ada tujuan mulia yang dengannya engkau diperintah. Berperanglah sesuai dengan perintah Rasulullah.”
Inilah sepenggal contoh bagaimana para sahabat mampu bekerja dalam sebuah tim yang kompak. Usamah bin Zaid dengan kesadaran yang mendalam bahwa ia masih sangat muda dan di sekelilingnya banyak sahabat senior ada baiknya kalalu mereka saja yang memimpin ekspedisi perang menghadapi pasukan Romawi yang terkenal hebat itu. Namun, bagi seorang Abu Bakar yang peka, penunjukkan Usamah sebagai pemimpin, tidak boleh diubah sebab itu adalah titah Rasulullah. Abu Bakar melihat betapapun Rasulullah telah wafat, ia sebagai khalifah harus tetap bekerja melanjutkan ketetapan Rasulullah. Dalam kisah ini jelas bahwa kesadaran semua pihak yang terlibat sebagai sebuah tim dan mereka memposisikan diri dengan baik.
6.    Belajar memahami orang lain
Bekerja dalam sebuah jamaah membutuhkan kemampuan memahami. Karena tiu hendaknya setiap kadaer menumbuhkan kemampuan untuk memahami kelebihan sekaligus kekurangan saudaranya dalam seperjuangan. Setiap kader harus sadar bahwa ia bergabung dengan orang-orang yang memiliki wawasan, perasaan, pengalaman, watak dan karakter yang berbeda-beda. Dengan  modal ini, seorang kader dapat bermain dengan lincah dan meminimalisir pergesekan dan persinggungan dengan saudaranya yang lain. Meski pergesekan dan persinggungan hampir pasti sulit dihindari, namun kemampuan memahami orang lain menjadi alat peredam yang paling ampuh dari bahaya perpecahan.
Contoh sederhana dalam masalah ini adalah bagaimana sikap Rasulullah ketika menghadapi orang badui yang kencing di masjid. Beliau melarang sahabat memukulnya sebab orang ini berasal dari pedalaman yang kurang mengerti adab. Begitu pula sikap Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal yang dilaporkan terlalu memanjangkan bacaannya saat mengimami shalat berjama’ah. Lalu beliau memarahinya sekaligus mengingatkannya untuk meringkas bacaannya karena kondisi makmum yang berbeda-beda.
Inilah beberapa tips sederhana bagaimana agar para kader dakwah bisa berpindah dari sekedar berafiliasi menjadi kader yang mampu berpartisipasi dan memberi kontribusi dalam perjuangan menegakkan agama Allah Ta’ala.
Berjuang menegakkan agama Allah Ta’ala dibutuhkan komitmen kuat dari setiap kader bahwa hanya dengan tajarrud (totalitas) lah risalah ini  bisa zhahir dan mengungguli semua sistem batil mengangkangi dunia ini. Tapi pertanyaannya kenapa masih banyak orang mampu bertajarrud bekerja dengan sungguh-sungguh untuk urusan dunia, tetapi untuk urusan akhirat dan menjayakan agama ini masih banyak yang enggan.
Wallahu a’lam.


Sumber: Majalah al Bashirah : Edisi 08 Tahun II Jumadil Ula 1429 H

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money