HARDIKNAS: Apakah hanya peringatan?

Hari ini, 2 Mei 2012 merupakan salah satu tanggal yang termasuk 'Hari Keramat' di Indonesia (meminjam bahasa Bramma Aji Putra dalam sebuah buku). Biasanya waktu sekolah dulu, untuk memperingati hari-hari keramat ini, diadakan upacara khusus di Alun-alun kota bagi semua akademisi se-Kabupaten. Mulai dari anak-anak SD yang belum mengerti apa-apa sampai birokrat dari berbagai instansi pemerintah. Satu hal yang saya perhatikan, ternyata hampir sebagian besar peserta upacara itu mengobrol waktu upacara. Padahal itu merupakan upacara hari-hari keramat (dalam konteks ini saya sesuaikan dengan Hari Pendidikan Nasional).

Hari Pendidikan Nasional, diproklamirkan pada tanggal 2 Mei sesuai dengan tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Beliau disebut sebagai Bapak Pendidikan Indonesia karena merupakan pelopor pendidikan bagi para pribumi ketika masa penjajahan Belanda. Ini menunjukkan bahwa dulu pun sudah ada yang menyadari pendidikan itu merupakan hal yang penting dan dibutuhkan, bukan hanya untuk kalangan bangsawan saja, melainkan untuk semua manusia di bumi ini. Perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan merupakan salah satu perwujudan dari cita-cita luhur beliau untuk memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti yang dirasakan priyayi maupun orang-orang Belanda. Sungguh mulia cita-citanya untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil agar bisa mengenyam pendidikan.

Saya menjadi miris ketika mengingat yang saya rasakan setiap tahunnya digelar upacara peringatan Hardiknas, resepsi malam puncak, pameran-pameran dan segala gegap gempita euforia pendidikan, tanpa ada perenungan, evaluasi atau apalah namanya mengenai keberjalanan sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga, setiap tahunnya Hari Pendidikan hanyalah peringatan semata, dan esensi pendidikan sekarang hanyalah belajar di kelas dan  bagaimana mendapatkan nilai bagus ketika ujian. Padahal sejatinya, esensi pendidikan itu harus kita pahami sejak awal, karena merupakan basis dalam menentukan akan dibawa ke mana pendidikan Indonesia.

Sebenarnya dalam Undang-Undang pun sudah dipaparkan definisi dan tujuan dari pendidikan tersebut. Dalam Undang-undang sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Pasal I dinyatakan:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Adapun fungsi dari pendidikan itu sendiri seperti diutarakan dalam Bab II, Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (billyboen.com).

Dari cuplikan Bab I dan II di atas dapat disimpulkan bahwa esensi utama dari pendidikan adalah untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Namun sekarang ini, sepertinya esensi tersebut sudah bergeser sehingga yang sangat ditekankan dalam pendidikan di Indonesia saat ini adalah aspek kognitif.

Inilah yang membuat siswa atau mahasiswa berlomba-lomba mendapat nilai bagus, namun dengan cara yang tidak bagus. Terbukti belakangan ini berita-berita yang diangkat mengenai UAN bukanlah tentang bagaimana keseriusan peserta ujian menghadapi ujian atau berita positif lainnya, melainkan berbagai tindak kecurangan yang dilakukan oleh siswa bahkan gurunya. Begitu juga dengan mahasiswa, ternyata masih ada saja yang suka mencontek ketika ujian.  Saya jadi teringat pertanyaan seorang teman dari Fakultas Kedokteran Kampus X tentang budaya mencontek di kalangan mahasiswa ketika ujian. Beliau mengomentari pertanyaannya sendiri "Waahh, gimana ya nantinya kalo mahasiswa FK suka nyontek, padahal kerjaannya ngurusin nyawa orang.. "

Secara tidak sadar, inilah yang kemudian membentuk watak dan karakter pelajar dan mahasiswa Indonesia menjadi suka dengan hal-hal yang instan, tidak jauh berbeda dengan para koruptor di luar sana yang juga suka memperkaya diri dengan instan dan menghalalkan segala cara bukan? dan saya pikir segala akar permasalahan bangsa ini terletak pada karakter bangsanya.

Jika kita mengulas romantika zaman dahulu, pendidikan Indonesia begitu maju, banyak tokoh-tokoh besar yang dilahirkan. Bahkan, dulu pendidikan Indonesia menjadi kiblatnya pendidikan sampai-sampai banyak pelajar dari Malaysia yang menuntut ilmu di Indonesia dan mengisi tempat-tempat strategis di Malaysia. Ada yang menjadi menteri, profesor, doktor, dosen, bekerja mengembangkan Petronas, dan menjadi polisi, seperti Datuk Sofian Ahmad yang menjadi Kepala Polisi Kedah (http://aaganztenk.multiply.com).

"Mengenai kemajuan pendidikan di Malaysia, kami belajar dari Indonesia. Saat itu Indonesia memiliki pendidikan yang bagus. Kami menjiplaknya untuk diterapkan di Malaysia. Hasilnya kini bisa dinikmati banyak pihak. Maka, sepatutnya kami berutang budi kepada Indonesia," tutur Suleiman Mohamed PhD, alumni Jurusan Publisistik Universitas Padjadjaran. Kalau kita lihat, perasaan mengenai romantika masa lalu itu berujung pada sebuah pertanyaan:

"Apakah bisa Indonesia seperti itu lagi?"

Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak bisa hanya sekedar iya dan tidak, namun perlu adanya tindakan nyata. Mengembalikan esensi pendidikan sesuai dengan Undang-Undang sistem pendidikan mungkin bisa membuat pendidikan Indonesia kembali jaya. Itu berarti dibutuhkan guru yang dapat mengajarkan nilai-nilai agama, moral dan akhlak bagi para siswanya, di samping aspek kognitif. Mungkin dibutuhkan sosok seperti Bu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Begitu juga siswanya, sebisa mungkin kita hindari cara-cara tidak benar dalam menempuh pendidikan ini, karena kualitas generasi muda menjadi jaminan masa depan suatu bangsa. Apabila itu berhasil, maka output dari pendidikan ini adalah orang-orang yang agamis, nasionalis, moralis, namun tidak individualis.

Harapan itu masih ada dan akan selalu ada, Kawan. Semoga!
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL!
Untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Gita Khaerunnisa
Mahasiswa Teknik Kimia '09 UNDIP

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money